Berita

Makan Bersama di Atas Daun Pisang Warga Muslim Bali

USAHAMUSLIM.ID, BALI – Di tengah mayoritas masyarakat yang menganut agama Hindu di Bali, ada juga beberapa daerah yang masyarakatnya menganut agama Islam. Sebagai minoritas, tentu saja suasana Ramadhan di Pulau Dewata terasa berbeda. Bila di daerah lain yang warganya mayoritas Muslim, kita bisa menjumpai banyak penjaja menu berbuka puasa , maka di Bali pemandangan seperti itu lebih jarang ditemui. Mereka hanya bisa terlihat di sekitar pemukiman Muslim.

Di perkampungan Muslim, suasana bulan Ramadhan sepintas sama dengan suasana Ramadhan di daerah lain. Salah satunya di Desa Gelogor Carik, Denpasar Selatan. Menjelang waktu buka puasa, kita akan menjumpai banyak penjaja makanan untuk berbuka puasa, seperti bubur kacang hijau, aneka gorengan, kolak, dan lauk pauk lainnya.

Pembaca setia usahamuslim.id dari pulau Bali, Taufiqurrahman berbagi kisah mengenai suasana sore jelang berbuka puasa di pulau Bali. Menurutnya suasana jelan berbuka itu sekaligus menjadi wadah perekat silaturahmi antara sesama warga muslim di Bali.

“Kami saling bertemu di jalan, Daeng..! mereka yang berjualan menggelar dagangan di pinggir jalan, menghadirkan suasana yang semarak, warga muslim tampak menikmati kerumunan sore jelang berbuka, Ada yang berbelanja kudapan untuk berbuka, sementara yang lain asyik duduk-duduk di pantai, ada yang menunggu waktu berbuka dengan memancing di tepi kali, Daeng..!” katanya.

Lebih lanjut, Bang Fiq demikian ia akrab disapa, menceritakan sebuah tradisi yang telah berlangsung turun temurun di tengah kaum Muslimin Bali, yakni Megibung.

Megibung merupakan tradisi warga Muslim Karangasem, yang terletak di ujung timur Pulau Dewata, Bali.

“Jadi sampai sekarang tradisi Megibung masih ada, Daeng. Itu adalah tradisi makan bersama sambil duduk melingkar saling berdiskusi dan berbagi pendapat,”

Yang unik dari kegiatan Megibung ini adalah media yang mereka gunakan untuk makan adalah daun pisang. Makanan ditumpahkan di atas selembar daun pisang, lalu dimakan bersama dengan duduk melingkar.

“Namun, tradisi itu baru akan dilakukan pada hari ke-10, ke-20, dan 30 di bulan Ramadan, Daeng…! dan itu yang membuat kami selalu merindukan Ramadhan. Meskipun kami minoritas, namun ada saling memperkuat antara sesama Muslim melalui kegiatan silaturahmi itu,”imbuhnya.

Di desa Gelogor Carik itu juga terdapat sebuah mushollah kecil, yang juga terlihat ramai. Sama seperti di daerah lain, setiap bulan Ramadhan, di Mushollah Nurul Iman ini selalu menggelar acara buka bersama untuk para musafir.

Letaknya yang berada di tepi jalan poros, menjadikan mushollah ini kerap dijadikan tempat persinggahan oleh para musafir.

Makanan yang menjadi menu buka di mushollah itu merupakan sumbangan dari warga Desa Gelogor Carik secara bergilir. “Itu semua dimaksudkan untuk mempererat silahturahmi, jadi setiap hari disediakan puluhan porsi makanan yang dibagi dua, sebagian untuk berbuka dan sebagian lagi sahur, utamanya kaum Muslimin yang sedang safar dan singgah di mushollah itu,” ujar Taufiqurrahman.

Di pulau Dewata, ada sebuah Menu khas yang selalu hadir dalam hidangan perjamuan makan, yakni Nasi Pedas dan Ayam Betutu, dua menu khas yang akan selalu membuat kangen bagi mereka yang pernah berkunjung ke pulau Dewata, ditambah pula dengan minuman penutup Teh Daun khas Pekalongan.

Minuman teh hangat ini, meskipun asalnya dari Pekalongan, namun cukup banyak dijumpai di Bali. Kemungkinan dibawa oleh warga pendatang yang sebagian besar berasal dari Kota Batik itu. (UM)

Show More

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Back to top button