Pada masa sekarang, banyak transaksi yang terjadi di masyarakat menggunakan skema cashless baik di supermarket, minimarket, resto, bahkan warteg dan warung kelontong pun sudah banyak yang tersedia fitur pembayaran dengan dompet digital melalui scan barcode.
Hal ini tentu saja merupakan dampak kemajuan teknologi yang membutuhkan adaptasi bagi sebagian masyarakat. Diantaranya bagi masyarakat yang telah terdidik dengan pengajian ilmu syar’i, mereka banyak yang menanyakan terkait hukum penggunaan dempet digital ini. Terutama ketika para vendor dompet digital sangat gencar menawarkan bonus-bonus, promo dan diskon jika bertransaksi menggunakan dompet digital yang mereka tawarkan.
Karena hal ini merupakan perkara muamalah yang baru khususnya bagi masyarakat Indonesia, perbedaan pendapat di kalangan ulama dan ustadz pun tidak bisa dielakkan dalam menghukumi kasus muamalah dompet digital ini. Ada yang mengharamkan secara mutlak, membolehkan tapi dengan beberapa syarat, dan ada yang membolehkan secara keseluruhan.
Yang menjadi poin penting yang harus kita tanamkan di dalam benak kita adalah kaidah asal di dalam muamalah yaitu bahwasanya hukum asal semua perkara muamalah yang baru adalah mubah (halal). Kecuali ada delik keharaman yang merasuk ke dalam transaksi tersebut dari salah satu sumber keharaman yaitu riba, gharar, dan zalim. Main set seperti ini akan memudahkan kita di dalam menganalisa sebuah produk muamalah yang baru dengan adil serta memudahkan kita untuk memilih pendapat yang rajih (kuat) di dalam pendapat muamalah.
Untuk menganalisa hukum dompet digital, kita dapat meninjau sebab-sebab munculnya keharaman di dalam sebuah transaksi. Yang pertama dan yang paling beresiko adalah keharaman karena sebab adanya riba.
Riba muncul melalui dua pintu yaitu pintu hutang piutang dan pintu pertukaran komoditi riba. Sedangkan gharar muncul jika terdapat ketidakjelasan objek timbal balik dalam sebuah transaksi. Adapun kezaliman muncul jika lawan transaksi dikurangi dan diambil haknya atau membayar tanpa mendapatkan timbal balik apapun di dalam transaksi.
Dari ketiga kemungkinan keharaman di atas, jika kita kaitkan ke dalam kasus dompet elektronik maka kemungkinan adanya gharar dan zalim sangat kecil. Karena transaksi yang terjadi hanyalah proses Top Up saldo. Yaitu kita download aplikasi dompet digital tersebut tanpa biaya, kemudian kita mengisi saldo dompet digital tersebut dengan metode transfer ATM, mobile banking, atau menggunakan mesin EDC dan Handphone yang ada fitur NFC untuk top up saldo e-money yang berupa kartu ( chip based ).
Adapun kemungkinan munculnya riba, dan inilah yang menjadi perdebatan banyak ustadz khusunya di indonesia sangat berpeluang muncul. Hal ini dikarenakan transaksi Top Up merupakan transaksi pertukaran uang yang merupakan salah satu komoditi yang berpotensi memunculkan akad riba.
Berikut beberapa kemungkinan akad riba yang bisa muncul di dalam transaksi dompet digital :
- Kemungkinan munculnya riba pada saat melakukan Top Up
Jika kita hendak mengisi saldo dompet elektronik kita mentransfer sejumlah uang dari rekening perbankan atau uang tunai ke dalam data base dompet elektronik. Kemudian muncullah nilai saldo dompet elektronik kita senilai rupiah yang kita transfer dan dapat digunakan sebagai alat pembayaran yang diterima publik. Dengan kata lain kita tidak kehilangan nilai uang di dalam transaksi ini, kita hanya menukar uang tunai kita menjadi saldo elektronik di dalam aplikasi dompet digital. Atau memindahkan saldo elektronik dari rekening perbankan ke dalam saldo elektronik dompet digital.
Di dalam kaidah transaksi riba jual beli, pertukaran nilai uang tidak boleh ada tambahan atau pengurangan nilai. Contoh adanya pengurangan saldo jika kita melakukan Top Up Rp. 100.000 maka seharusnya saldo elektronik yang kita dapatkan juga senilai Rp.100.000. Maka jika kita mentransfer uang Rp. 100.000 dan mendapatkan saldo uang pada dompet elektronik Rp. 90.000, maka ini merupakan riba. Atau sebaliknya adanya penambahan saldo yaitu ketika kita melakukan top up senilai Rp.100.000, kemudian kita mendapatkan saldo elektronik senilai Rp.150.000. Dan ini merupakan transaksi riba karena melakukan pertukaran nilai uang sejenis dengan timbal balik nilai uang yang berlebih. Secara legal Peraturan Bank Indonesia No. 20/6/PBI/2018 tentang uang elektronik pun hal ini dilarang :
Adapun biaya administrasi top up yang nilainya tetap yaitu biayanya tidak naik tergantung naiknya nilai uang yang ditransfer dan dihitung biayanya per transaksi, maka ini bukanlah riba, bahkan merupakan biaya jasa di dalam proses top up. Karena proses top up membutuhkan jasa sistem yang dinamakan payment gateway dan ini ada perusahaan pihak ketiga sebagai vendornya secara khusus. Misalnya kita melakukan top up senilai Rp.100.000, ada biaya administrasi atau jasa senilai Rp.3000. Dan biaya ini nilainya tetap per transaksi. Jadi jika kita melakukan top up Rp. 500.000, biaya jasanya tetap Rp.3000.
Hal ini juga sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia,
Kata Pencarianhttps://usahamuslim id/hukum-dompet-digital-e-wallet/https://usahamuslim id/hukum-dompet-digital-e-wallet/#:~:text=Hal ini dikarenakan transaksi Top pada saat melakukan Top Up