Koperasi Syariah Ar-Rahmah Jalan Keluar untuk Terbebas dari Transaksi Ribawi
USAHAMUSLIM.ID, BANJARMASIN – Alur transaksi yang dipraktekkan oleh banyak lembaga keuangan dan perbankan selama ini sangat kental dengan unsur riba. Meskipun lembaga perbankan tersebut telah menambahkan embel-embel kata “syariah” di belakang namanya, namun pada prakteknya belum terlepas dari unsur riba.
Mari kita tengok realita yang terjadi di tengah masyarakat kita. Ketika mereka bertransaksi melalui perbankan, sangat jauh dari praktek murabahah sebagaimana yang dijelaskan dalam fikih Islam. Praktek murabahah yang dilakukan pihak bank atau lembaga perkreditan rakyat yang mengatasnamakan syari’ah jauh dari yang semestinya.
Dijelaskan oleh para ulama kita, bahwa dalam hal jual beli, seseorang harus benar-benar telah memiliki barang yang ingin dijualnya kepada orang lain. Namun realita yang terjadi di bank tidaklah demikian.
Murabahah yang dipraktekkan pihak bank sangat jauh dari murabahah yang disyariatkan, karena calon pembeli datang ke bank, dia berkata kepada pihak bank, “Saya bermaksud membeli mobil X yang dijual di dealer A dengan harga Rp. 100 juta.”
Pihak bank lalu menulis akad jual beli mobil tersebut dengan pemohon, dengan mengatakan, “Kami jual mobil tersebut kepada Anda dengan harga Rp. 120 juta, dengan tempo 3 tahun.” Selanjutnya bank menyerahkan uang Rp. 100 juta kepada pemohon dan berkata, “Silakan datang ke dealer A dan beli mobil tersebut.”
Praktek seperti ini bukanlah murabahah yang sesuai dengan syariat. Sebab pada kenyataannya pihak bank justru meminjamkan uang pada si pemohon sebesar 100 juta untuk membeli mobil di dealer. Lalu si pemohon mencicil pengembalian hutang ke pihak Bank hingga 120 juta.
Praktek murabahah yang sebenarnya adalah transaksi antara si pemohon dengan pihak bank harus berbentuk transaksi jual beli, sehingga mobil yang ingin dibeli tersebut harus ada di kantor bank. Karena syarat jual beli, si penjual harus memegang barang tersebut secara sempurna sebelum dijual pada pihak lain. Sebagaimana hadist yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ
“Barangsiapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.” Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Aku berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya sama dengan bahan makanan.” (HR. Bukhari no. 2136 dan Muslim no. 1525)
Ibnu ‘Umar berkata,
كُنَّا فِى زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَبْتَاعُ الطَّعَامَ فَيَبْعَثُ عَلَيْنَا مَنْ يَأْمُرُنَا بِانْتِقَالِهِ مِنَ الْمَكَانِ الَّذِى ابْتَعْنَاهُ فِيهِ إِلَى مَكَانٍ سِوَاهُ قَبْلَ أَنْ نَبِيعَهُ.
“Kami dahulu di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan. Lalu seseorang diutus pada kami. Dia disuruh untuk memerintahkan kami agar memindahkan bahan makanan yang sudah dibeli tadi ke tempat yang lain, sebelum kami menjualnya kembali.” (HR. Muslim no. 1527)
Sedangkan dalam praktek transaksi yang berlaku di lembaga perbankan, mobil yang ingin dibeli tersebut belum berpindah dari dealer ke kantor bank. Itu sama saja bank menjual barang yang belum ia miliki atau belum diserah terimakan secara sempurna.
Pihak bank bukan sebagai penjual mobil, tetapi hanya bertindak sebagai pihak yang meminjamkan uang 100 juta dan dikembalikan 120 juta. Kesepakatan para ulama, prektek seperti itu adalah riba karena, “Setiap utang yang ditarik keuntungan, maka itu adalah riba.”
2. Ada lagi contoh praktek yang lain, sama dengan ilustrasi pertama, hanya saja pihak bank menelpon showroom dan berkata “Kami membeli mobil X dari Anda.”
Selanjutnya pembayarannya dilakukan via transfer, lalu pihak bank berkata kepada pemohon: “Silakan Anda datang ke showroom tersebut dan ambil mobilnya.”
Praktek seperti inipun sama, bank juga menjual barang yang belum diserahterimakan secara sempurna. Ini termasuk pelanggaran dalam jual beli seperti yang diterangkan dalam hadits Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar di atas.
3. Ilustrasi ketiga, seorang pemohon datang ke bank dan dia butuh sebuah barang, maka pihak bank mengatakan, “Kami akan mengusahakan barang tersebut.” Bisa jadi sudah ada kesepakatan tentang keuntungan bagi pihak bank, mungkin pula belum terjadi.
Lalu pihak bank datang ke toko dan membeli barang selanjutnya dibawa ke halaman bank, kemudian terjadilah transaksi antara pemohon dan pihak bank.
Pada akad di atas, pihak bank telah memiliki barang tersebut dan tidak dijual kecuali setelah dipindahkan dan dia terima barang tersebut.
Hukum transaksi ini dirinci:
– bila akadnya bersifat mengikat (tidak bisa dibatalkan), maka haram karena termasuk menjual sesuatu yang sebelumnya tidak dimiliki.
– bila akadnya tidak bersifat mengikat (bisa dibatalkan) oleh pihak penjual atau pembeli, maka masalah ini ada khilaf di kalangan ulama masa kini. Pendapat terkuat, jual beli semacam ini dibolehkan karena barang sudah berpindah dari penjual pertama kepada bank.
Namun sayangnya, transaksi seperti itu belum pernah dijumpai di bank-bank yang ada kecuali dengan bentuk yang mengikat (tidak bisa dibatalkan).
Maka atas dasar itulah, Koperasi Syariah Arrahmah yang saat ini berlokasi di Banjarmasin ini hadir, dengan harapan semoga kehadirannya bisa menjadi solusi bagi kaum muslimin untuk meninggalkan segala bentuk transaksi riba dan bersegera memilih tranksaksi yang aman selamat sehingga segala bentuk bisnis, usaha dagang dan transaksi yang dilakukan mampu mendatangkan keberkahan.
“Kami memohon dengan sangat, dukungan moril dari para ikhwah dan segenap kaum Muslimin agar Koperasi Syariah Ar-Rahmah bisa ikut bersama-sama berdiri di barisan terdepan dalam memerangi riba yang kini sudah merajalela dan menggurita di mana-mana, bahkan kebanyakan kaum muslimin tidak sadar bahwa mereka sudah terjerumus dalam riba.” Harap Sudjipto selaku ketua KS Arrahmah saat dihubungi media ini.
Banyak alasan mengapa kaum muslimin harus bertransaksi melalui koperasi syariah Arrahmah atau koperasi lain yang semisal dengannya, antara lain
Karena koperasi Syariah Arrahmah berlandaskan pada hukum syar’i
Karena koperasi Syariah Arrahmah memberikan pelayanan mudah dan insya Allah lebih murah.
Karena koperasi Syariah Arrahmah tidak menerapkan 2 aqad dalam 1 transaksi (Sewa Jual).
Karena koperasi Syariah Arrahmah tidak menerapkan denda keterlambatan.
Karena koperasi Syariah Arrahmah mewajibkan adanya penjamin atas setiap transaksi.
Koperasi Syariah Arrahmah lebih Syar’i dibandingkan dengan koperasi lain atau lembaga pembiayaan syariah yang lain apalagi dengan konvensional umum, karena Koperasi Syariah Arrahmah sebelum melakukan transaksi, terlebih dahulu memenuhi persyaratan kredit murabahah.
“Transaksi kredit Murabahah yang saat ini sangat digemari kaum muslimin secara umum dan sangat rentan dengan dosa riba jika anda belum paham rambu-rambunya, sehingga kami sangat berhati-hati dan cermat sekali dalam melakukan transaksi perkreditan, dengan cara terlebih dahulu memeriksa syarat murabahahnya apakah sudah terpenuhi atau belum,”tegas Sudjipto.
Untuk lebih jelasnya, alur transaksi perkreditan dengan sistem murabahah, dapat diperhatikan pada bagan berikut ini.
Sejak didirikan pada tahun 2012, dan tahun ini telah memasuki tahun ke-10, maka berdasarkan penilaian tahun buku 2017, oleh Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Kalimantan Selatan menetapkan bahwa Koperasi Syariah Arrahmah, ditetapkan sebagai koperasi syariah yang “SEHAT”.
“Koperasi Syariah Arrahmah insya Allah merupakan koperasi konsumen “Syariah” pertama di Kalimantan Selatan. Kami berkomitmen untuk lebih syariah dalam setiap transaksi muamalah yang kami kerjakan,” tegas Sudjipto yang mengetuai koperasi yang berbadan Hukum Nomor 06/BH/XIX/III/2016 diterbitkan tanggal 28 Maret 2016 oleh Gubernur Provinsi Kalsel Bpk. H. Sahbirin Noor itu.
Koperasi Syariah Arrahmah berkomitmen akan menjadi solusi investasi halal tanpa riba untuk kaum muslimin, khususnya di Kalimantan Selatan. (UM)