Riba Hutang Piutang (Qard)
Bismillahirrahmanirrahim
Segala Puji Bagi Allah Rabb semesta alam yang telah memberikan kehidupan dan berbagai kenikmatan kepada seluruh makhluk di dunia ini agar kita senantiasa bersyukur dengan melakukan ketaatan serta beribadah kepadaNya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Shalawat dan salam kita haturkan kepada Nabi kita yang mulia Rasulullah Muhammad Shallalahu ‘alaihi wa sallam.
Di dalam bermuamalah, seorang muslim dituntut untuk menghindari keharaman yang paling besar di dalam aspek muamalah yaitu keharaman riba. Oleh karena itu wajib bagi kita semua mengenali karakter keharaman riba dengan mengetahui jenis-jenisnya serta aplikasinya di dalam berbagai transaksi kontemporer yang kita lakukan.
Secara garis besar riba bisa masuk melalui 2 pintu :
1. Pintu hutang piutang ( Riba Qard)
2. Pintu jual beli atau tukar menukar komoditi riba (Riba Bai’)
1. Riba Qard
Pada pintu yang pertama yaitu pintu hutang piutang, riba muncul karena manusia ingin mengkomersialkan transaksi sosial (hutang). Yaitu transaksi hutang yang seharusnya merupakan amal kebaikan dijadikan alat untuk mengeruk keuntungan sehingga manusia kehilangan sifat kedermawanan. Dan sebaliknya, riba juga muncul ketika manusia mensosialkan transaksi komersial yaitu akad-akad investasi yang digunakan untuk mencari keuntungan komersial diberlakukan seperti akad sosial (hutang) yang mana dana yang diserahkan sebagai modal wajib dikembalikan sebagaimana hutang. Sehingga manusia kehilangan keberanian untuk berinvestasi dan takut akan resiko bisnis. Pemutarbalikan konsekuensi akad-akad inilah yang menyebabkan ketidaksetimbangan kehidupan sosial ekonomi masyarakat.
Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya menghalalkan mengambil untung dari transaksi jual beli (komersil) dan melarang untuk mengambil untung dari transaksi hutang piutang (sosial)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamakan riba” (QS. Al Baqarah: 275)
Ayat diatas merupakan salah satu prinsip di dalam pengambilan keuntungan secara halal yaitu dengan cara melakukan transaksi jual beli. Karena di dalam syariat Islam, pengambilan keuntungan dari akad hutang piutang sangat diharamkan yang dinamakan dengan dosa riba.
Berdasarkan kaidah fiqih :
كل قرض جر نفعا فهو ربا
“Setiap piutang yang mendatangkan manfaat/keuntungan, maka itu adalah riba.”
Hal tersebut dikarenakan transaksi hutang piutang tergolong transaksi sosial yang sangat dianjurkan di dalam prinsip agama Islam untuk melakukannya. Sebagaimana di dalam Al Qur’an terdapat puluhan ayat yang menganjurkan manusia untuk mengeluarkan infak, sedekah, zakat dan segala bentuk transaksi diranah kebaikan yang ditujukan untuk mendapatkan pahala dan bukan untuk timbal balik berupa harta dunia.
:عن عبد الله بن مسعود- رضي الله عنه- أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:
ما من مسلم يقرض مسلما قرضا مرتين إلا كان كصدقتها مرة.
( رواه ابن ماجه، ص 347، والحديث صححه الشيخ الألباني)
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Siapa saja muslim yang memberikan hutang kepada seseorang muslim lain sebanyak dua kali, kecuali pahalanya seperti bersedekah sebanyak satu kali.” (HR.Ibnu majah, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani ).
Itulah ajaran Islam yang mengajarkan kita untuk berderma meringankan beban orang yang kesulitan dengan memberinya hutang. Sedangkan riba sangat bertolak belakang dengan ajaran Islam yang menganjurkan transaksi sosial. Bahkan transaksi sosial (hutang piutang) itu sendiri justru dijadikan ajang pengambilan keuntungan.
Oleh karena itu Allah mengancam dengan keras transaksi riba sampai diancam dengan kekekalan di dalam neraka ( jika sampai menghalalkan riba ).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَمَنْ عَادَ فَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya” (Al Baqarah:275).
Contoh bentuk-bentuk transaksi riba di masyarakat akibat tidak bisa membedakan mana ranah transaksi sosial dan mana ranah transaksi komersial diantaranya :
1. Mengambil untung dari hutang uang
Tidak sedikit masyarakat yang masih belum bisa membedakan antara mana akad investasi dan mana akad hutang piutang. Sebagian masih beranggapan bahwasanya jika uang dipinjamkan untuk tujuan bisnis maka ia berhak mendapatkan bagi hasil. Akan tetapi ketika orang yang dipinjamkan uang untuk bisnis tersebut mengalami kerugian, ia tetap meminta modalnya untuk dikembalikan. Hal ini menunjukkan bahwasanya orang tersebut tidak bisa membedakan mana akad sosial dan mana akad komersial. Seharusnya kalau menginginkan bagi hasil atas uang yang diberikan maka harus siap uangnya tidak kembali ketika debitur mengalami kerugian usaha. Itulah resiko bisnis. Berbeda dengan akad hutang yang dijanjikan dananya akan kembali tetapi tidak boleh mendapatkan keuntungan.
2. Mengkonversi nilai hutang uang dengan harga emas.
Seseorang yang memberikan hutang kepada saudaranya dalam tempo yang cukup lama misalnya lebih dari 1 tahun menyangka bahwasanya mengkonversi nilai hutang dengan harga emas merupakan bukan kegiatan riba, karena hakikatnya ia tidak menambahkan bunga kepada nilai hutang tetapi hanya sekedar menghindari turunnya nilai mata uang kertas akibat inflasi sedangkan nilai emas cenderung naik terus atau dianggap lebih stabil. Dengan tujuan agar ia tidak mengalami kerugian ketika memberikan hutang.
Perbuatan seperti ini merupakan kesalahan besar dan menandakan si kreditur belum memahami hakikat sebenarnya dari akad qard (hutang uang).
Akad qard merupakan salah satu dari akad-akad tabarru’at (sosial). Yaitu akad/transaksi yang dilakukan bukan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan berupa harta akan tetapi transaksi yang dilakukan untuk mendapatkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dimana karakteristik dari akad-akad tabarru’at ini adalah si pelaku akad tabarru’ pasti mengalami kerugian materil akibat transaksi tersebut. Contoh lain seperti akad hibah, sedekah, zakat, dan infak lain diranah kebaikan secara matematik si pelaku mengalami kerugian yakni hartanya berkurang. Begitu juga dengan akad qard (hutang), meskipun harta kreditur akan kembali ketika jatuh tempo pengembalian, minimal si kreditur mengalami kerugian dari turunnya nilai mata uang ketika waktu pengembalian. Dan inilah tabi’at dari transaksi sosial.
3. Mengambil untung dari gadai
Gadai merupakan akad hutang berjaminan dan termasuk di antara akad-akad sosial. Sudah menjadi kebiasaan di tengah masyarakat ketika ada orang yang menggadaikan kendaraan, elektronik, sawah, rumah kontrakan atau barang lainnya, si pemberi hutang selalu meminta keutungan dari gadai tersebut baik berupa pemanfaatan barang yang digadai atau berupa keuntungan uang yang dihasilkan dari pengelolaan barang gadai.
Dan ini termasuk perbuatan riba jika barang yang digadaikan berupa aset tetap (yang tidak berkurang nilainya seiring bertambahnya waktu). Kecuali jika barang yang digadai berupa barang yang membutuhkan biaya perawatan untuk menjaganya seperti hewan ternak yang bisa dikendarai dan atau diambil susunya. Zaman dahulu hewan ternak biasa dijadikan barang gadai. Dimana jika pada masa gadai hewan tersebut tentu membutuhkan biaya perawatan agar tidak mati sampai waktu jatuh tempo pengembalian hutang. Karena ada modal atau beban yang dikeluarkan oleh si penerima barang gadai, maka ia dibolehkan memanfaatkan barang gadai tersebut berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
“Barang gadai (boleh) ditunggangi dengan sebab diberikan nafkahnya, apabila digadaikan dan susu hewan ternak yang digadai boleh diminum dengan sebab diberikan nafkahya, apabila digadaikan. Dan wajib bagi yang menungganginya dan meminum susunya (untuk) memberi nafkah (biaya perawatan)” (HR Bukhari no. 2512).
Wallahu a’lam