Bolehkah Membuat Persayaratan untuk Memakai Barang yang akan dibeli Sebelum Dibayar?
USAHAMUSLIM.ID, MAKASSAR – Tujuan Jual beli adalah tercapainya pemenuhan hajat hidup dan terciptanya perputaran ekonomi. Jual beli dalam Islam yang diatur dalam fiqih muamalah juga memiliki tujuan kebaikan, sama halnya dengan praktek jual beli secara umum. Hanya saja Islam mengatur dengan ketat agar transaksi jual beli yang dilaksanakan di kalangan umat Islam tidak menyebabkan kerugian, baik terhadap si penjual maupun kepada si pembeli. Itu sebabnya dalam hal jual beli terdapat hukum khiyar.
Khiyar, secara bahasa berarti memilih, menyisihkan, atau menyaring. Artinya, memilih atau menentukan sesuatu yang paling baik di antara dua atau lebih pilihan yang ada. Dalam jual beli, makna khiyar dapat diartikan sebagai hak untuk menentukan apakah perjanjian jual beli mau diteruskan atau dibatalkan.
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah ra, ia berkata, “Aku keluar bersama Rasulullah pada perang Dzat ar-Riqa’, dari Nakhl dengan mengendarai seekor unta yang lemah. Ketika Rasulullah kembali dari perang Dzat ar-Riqa’, teman-temanku dapat berjalan dengan lancar, sementara aku tertinggal di belakang hingga beliau menyusulku.
Beliau bersabda kepadaku, “Apa yang terjadi denganmu, wahai Jabir?” Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, untaku berjalan sangat pelan.” Beliau bersabda, “Suruh ia duduk!”
Aku mendudukkan untaku dan beliau juga mendudukkan untanya. Setelah itu beliau bersabda, “Berikan tongkatmu kepadaku!” Atau beliau bersabda: “Potongkan sebuah tongkat untukku dari pohon itu.”|
Lalu Jabir pun mengerjakan perintah Rasulullah SAW. Rasulullah kemudian menusuk lambung unta Jabir beberapa kali kemudian bersabda,
“Naikilah Untamu !”
“Demi Allah yang mengutus beliau dengan membawa kebenaran, untaku mampu menyalip unta beliau. Kami pun bercakap-cakap di tengah perjalanan,”kata Jabir.
“Wahai Jabir, apakah engkau bersedia menjual untamu kepadaku?” tanya Rasulullah.
“Tidak wahai Rasulullah, namun aku akan menghibahkannya kepadamu.” jawab Jabir.
“Juallah untamu ini ke padaku!” pinta Rasulullah.
“Kalau begitu, hargailah untaku ini,” kata Jabir.
“Bagai mana kalau satu dirham?”
“Tidak, wahai Rasulullah, kalau harganya seperti itu, engkau merugikanku.”
“Dua dirham?”
“Aku tidak mau seharga itu, wahai Rasulullah.”
Rasulullah terus menaikkan penawaran hingga harga unta itu mencapai satu uqiyah (kira-kira setara dengan 40 dirham).
Jabir lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah engkau ridha dengan harga itu?”
“Ya.” Jawab Rasulullah.
“Kalau begitu unta ini menjadi milikmu, namun izinkan aku menungganginya sampai ke rumahku.”pinta Jabir yang diiyakan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
Kisah antara Rasulullah SAW, Jabir dan Untanya itu cukup panjang, namun dari penggalan kisah itu kita memetik banyak hikmah, pentingnya menjaga etika dan saling untung menguntungkan dalam bermuamalah.
Rasulullah SAW sangat dikenal memiliki kepribadian yang santun dalam ucapan dan tingkah lakunya. Dari kisah di atas, beliau mengajak berdialog dengan komunikasi yang sangat santun. Menurut ahli tafsir, sebenarnya Rasulullah tidak membutuhkan untanya Jabir, beliau hanya ingin mengetahui berapa kebutuhan sahabatnya. Namun, beliau tidak ingin menanyakannya secara langsung kepada Jabir ra, melainkan beliau mengajak dialog dengan melakukan tawar-menawar beli unta yang dimiliki sahabatnya dan beliau lakukan dengan setahap demi setahap hingga mencapai penawaran yang diinginkan sahabatnya, sehingga kemudian beliau mengetahui bahwa sebesar itulah yang dibutuhkan oleh sahabatnya.
Hikmah lain yang dapat kita petik, bahwa dalam bermuamalah tidak ada jual beli bersyarat, hal itu terlihat ketika Rasulullah menawarkan pembelian, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak mensyaratkan bahwa unta yang akan dia beli harus dipakai terlebih dahulu, melainkan dilakukannya sesudah kesepakatan telah dibuat. Rasulullah SAW bahkan masih mengizinkan sahabatnya untuk menungganginya, karena sebenarnya, Rasulullah SAW tidak berniat membeli dan memiliki unta Jabir radhiyallahu anhu.
“Sebagai pengusaha muslim, kita patut meniru Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, khususnya dalam menjalankan bisnis. Bahwa prioritas utama dari aktifitas bisnis kita adalah untuk sedekah dan memberikan manfaat bagi orang lain. Bukan untuk mengumpulkan, menumpuk, dan memperbesar aset, hingga menghitung-hitungnya dan akhirnya menjadi pelit atau enggan membaginya untuk lingkungan sekitar. Termasuk dalam hal membeli barang, tidak ada persayaratan, bahwa barang yang akan kita beli harus kita pakai terlebih dahulu sebelum dibayar. Namun yang ada adalah, selesaikan dahulu pembayaran baru kemudian barang tersebut boleh dipakai.” Tegas ustadz Anwar Samuri, Lc hafidzahullah.
Pembina Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia (KPMI), Ust.Anwar Sanuri, Lc mengatakan, terkait masalah khiyar ini, ada tiga jenis khiyar yang perlu diketahui sebelum menjalankan proses jual beli, tiga di antaranya adalah Khiyar Majelis, Khiyar Syarat, dan Khiyar Aib.
Khiyar Majelis – Hak Pilih di Lokasi Jual Beli
Khiyar majelis merupakan hak memilih untuk melanjutkan atau membatalkan transaksi selama pihak penjual dan pembeli masih berada di tempat jual beli. Khiyar majelis akan hilang jika penjual atau pembeli sudah berpisah atau pergi dari lokasi transaksi. Artinya, perjanjian yang berlaku tidak dapat diubah lagi kecuali memang sudah ada kesepakatan untuk menggugurkan hak Khiyar.
Khiyar majelis bisa Anda temukan di lokasi-lokasi transaksi yang umum. Seperti toko, kios, pasar, dan tempat lain dimana orang-orang melaksanakan proses jual beli dengan cara tatap muka. Dasar hukum mengenai Khiyar majelis adalah sebuah hadits yang berbunyi:
Dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Pembeli dan penjual (mempunyai) hak khiyar selama mereka belum berpisah, kecuali jual beli dengan akad khiyar, maka seorang di antara mereka tidak boleh meninggalkan rekannya karena khawatir dibatalkan.
(HR. Tirmidzi dan Nasa’i)
Khiyar Syarat – Hak Pilih Sesuai dengan Persyaratan
Khiyar syarat adalah khiyar yang menjadi syarat pada saat akad jual beli dilakukan. Dalam khiyar ini, pembeli atau penjual menetapkan batas waktu tertentu untuk meneruskan atau membatalkan transaksi. Jika telah sampai batas waktu, maka pihak penjual atau pembeli harus memastikan apakah transaksi akan dilanjutkan atau tidak.
Dasar hukum diperbolehkannya khiyar syarat adalah hadits berikut ini:
Dari Abdillah bin al-Harits, dari Hakim bin Hizam bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Dua orang yang melakukan jual beli mempunyai hak khiyar dalam jual belinya selama mereka belum berpisah,jika keduanya jujur dan keduanya menjelaskannya (transparan), niscaya diberkahi dalam jual beli mereka berdua, dan jika mereka berdua menyembunyikan atau berdusta, niscaya akan dicabut keberkahan dari jual beli mereka berdua. Abu Dawud berkata “sehingga mereka berdua berpisah atau melakukan jual beli dengan akad khiyar.
(HR. Al-Bukhari-Muslim dan imam ahli hadis lainnya)
Khiyar Aib – Hak Pilih Karena Adanya Cacat Pada Barang
Khiyar aib merupakan hak pilih untuk membatalkan atau meneruskan akad apabila terdapat cacat atau aib pada barang yang dijual beli, namun kecacatan itu tidak diketahui pada saat akad pembelian berlangsung.
Dalam khiyar aib, pembeli boleh merasa rela dan puas dan boleh juga tidak merasa puas. Jika pembeli puas dan rela dengan cacat pada barang, maka khiyarr ini tidak berlaku baginya. Sedangkan jika pembeli tidak merasa puas, maka penjual harus memberikan semacam ganti rugi. Penggantian ini bisa dengan pengembalian barang, penggantian barang, hingga penggantian uang sesuai dengan kerusakan atau cacat pada barang.
Perlu diperhatikan juga, bahwa pembeli harus melakukan pengembalian barang sesegera mungkin dan tidak melakukan penundaan. Jika pembeli menunda proses pengembalian, hal tersebut bisa dianggap sebagai kerelaan dan khiyar yang berlaku menjadi batal.
Dalil hukum atas khiyar aib berasal dari sebuah hadits, yaitu:
Bahwasanya Nabi saw bersabda: Muslim yang satu dengan Muslim lainnya adalah bersaudara, tidak halal bagi seorang muslim menjual barangnya kepada muslim lain, padahal pada barang tersebut terdapat aib/cacat melainkan dia harus menjelaskannya.
(HR. Ahmad, Ibnu Majah, Ad-Daraquthni, Al-Hakim dan Ath-Thabrani)
Itulah 3 jenis khiyar dalam jual beli menurut Islam. Dengan adanya khiyar tersebut, maka transaksi jual beli menjadi aman, nyaman, dan adil baik bagi pihak penjual maupun pembeli yang melakukan transaksi. (UM/Kh)