Pandemi di Penghujung Senja
drh. Ilsan Arvan Nurgas
Mahasiswa Program Magister Vaksinologi Dan Imunoterapeutika Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga 2021-2022 , Relawan PNF Surabaya
Ada harapan yang realistis bahwa upaya global dalam kegiatan vaksinasi akan mengendalikan pandemi yang disebabkan oleh sindrom pernafasan akut parah coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Meskipun demikian, ketidakpastian tetap hadir menghantui kita semua. Betapa tidak? Virus corona yang termasuk ke dalam family Coronaviridae dari subfamily Orthocoronavirinae ini memiliki genome non-segmented (+) RNA yang terbesar di antara virus RNA lainnya yakni 27-32 kb.
Kondisi ini menyebabkan virus corona mudah dalam mengakomodasi dan memodifikasi gen. Jadi, tidak heran dalam setiap waktu virus ini dapat muncul sebagai patogen virus corona pada manusia.
Sifatnya yang bisa ditransmisikan oleh hewan menunjukkan bahwa virus ini memiliki kemampuan dalam menginfeksi dan teradaptasi secara trans-spesies.
Virus corona memiliki empat protein struktural utama yaitu protein Spike (S), Membrane (M), Envelope (E) dan Nukleokapsid (N)
Secara keseluruhan dengan keadaan corona virus seperti yang diutarakan di atas maka nampaknya kehidupan manusia akan mengalami hubungan jangka panjang dengan populasi patogen virus corona.
Meskipun lintasannya sulit diprediksi, kondisi, konsep, dan variabel yang mempengaruhi transisi ini dapat diantisipasi. Bertahannya SARS-CoV-2 sebagai virus endemik, mungkin dengan puncak epidemi musiman, dapat dipicu oleh kondisi individu yang rentan dengan berbagai komorbiditas dan berkurangnya kekebalan setelah infeksi atau menurunnya perlindungan pasca vaksinasi, perubahan virus melalui antigenic drift yang mengurangi perlindungan dan masuknya serangan balik dari kantong-kantong zoonosis.
Ada banyak penelitian yang telah meninjau pengamatan yang relevan dari epidemi sebelumnya dan membahas potensi evolusi SARS-CoV-2 karena beradaptasi selama transmisi persisten dengan adanya tingkat kekebalan populasi.
Kurangnya surveilans atau pengawasan yang efektif dan respon yang memadai dapat memungkinkan munculnya pola epidemi atau pandemi baru dari infeksi endemik SARS-CoV-2.
Ada langkah- langkah penting yang sangat dibutuhkan untuk membuat keputusan yang baik agar dapat mengarahkan kita menuju masa depan yang lebih baik, diantaranya adalah :
- Intervensi disinfeksi lingkungan dan rumah tinggal terutama bagi mereka yang berada di daerah rawan penyebaran virus corona. Jangan dikatakan ini adalah tindakan mubazir atau sia-sia, pengalaman saat wabah flu burung yang lalu mengajarkan kita bagaimana tindakan disinfeksi secara rutin dan terukur bisa menjadi alat penting untuk meredakan letupan kasus di lapangan. Ini tidak terbantahkan lagi, terlalu banyak fakta di lapangan yang bisa diberikan.
- Pemeriksaan dan pengukuran antibodi terhadap virus SARS CoV-2 secara rutin dan berkala. Target pemerintah sejauh ini hanya menyuntik, dan mengejar target populasi vaksinasi, belum memantau apakah antibodi sudah terbentuk atau tidak setelah pelaksanaan vaksinasi. Parameter apa yang digunakan untuk memastikan seseorang sudah memiliki antibodi dari sekian kali vaksinasi ulangan? Harus jelas agar kita semua tidak berada dalam euforia semu merasa aman dari serangan patogen virus corona.
- Intervensi non medis seperti pola hidup sehat dengan menerapkan Biosecurity System secara maksimal, membiasakan hidup bersih dengan menerapkan pola 3M + 5M terutama saat kita berada di tengah kerumunan orang yang tidak terkontrol. Tidak lupa senantiasa konsumsi empon-empon, minuman herbal berbahan Immunomodulator yang bisa banyak dijumpai di sekitar lingkungan kita, tidak perlu bersusah payah mengejar aneka produk yang katanya bisa menaikkan kekebalan tubuh dan dengan harga yang mahal.
Tidak bisa dipungkiri, kegiatan vaksinasi memang merupakan upaya preventif untuk mengendalikan serangan virus patogen, baik pada manusia maupun hewan. Namun perlu dicatat bahwa vaksinasi bukanlah segalanya. Prof. Chairil Anwar Nidom, Pembina Utama Professor Nidom Foundation-PNF Surabaya mengatakan “Meskipun antibodi sudah terbentuk setelah divaksin, belum tentu bisa melawan virus yang sudah bermutasi.”
Lebih jauh dikatakan oleh Beliau, “Sifat antibodi yang terbentuk dari vaksin tidak bisa membuat reaksi silang, jadi vaksin untuk melawan virus A, tidak bisa melawan virus A+1.” Demikian dicontohkan oleh Beliau.
Selain mutasi berdampak pada efektivitas vaksinasi, juga sebaliknya vaksinasi bisa memicu terjadinya mutasi pada virus.
Protein S (Spike) virus COVID-19, sebagai pengantar masuknya virus ke sel manusia telah menjadi target utama pengembangan vaksin sekaligus analisis mutasi virus.
Pola mutasi protein S yang terjadi sampai dengan tanggal 12 Januari 2021 meliputi A222, S477, D614, Q677 juga telah dituangkan dalam publikasi ilmiah oleh Grup Peneliti PNF.
Tim PNF Surabaya telah mengidentifikasi mutasi D614G yang ditemukan pada 103 isolat di Indonesia yang tersebar di berbagai daerah mulai dari DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jogjakarta dan Jawa Timur.
Data penyebaran Virus COVID-19 ini beserta mutasi Iainnya, dapat dijadikan sebagai informasi dasar dalam membandingkan pola mutasi, yang selanjutnya dapat digunakan untuk kebijakan tindakan pencegahan dan konstruksi vaksin berbasis isolat lokal dan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah serta cocok untuk manusia Indonesia.
Akhirnya, kami ingin sampaikan bahwa Intervensi medis maupun nonmedis merupakan bagian penting yang harus dilakukan secara terukur dan mendasar untuk memutus rantai penyebaran COVID-19. Sehingga dengan demikian saat usia senja nanti, kita semua bisa berada pada suasana penghujung pandemi dan pertanda segera akan berakhir, semoga. !
Surabaya, 01 Januari 2022