CORE Ingatkan Risiko Bumerang dari Larangan Impor Pangan Mendadak

Jakarta – Peneliti Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Eliza Mardian, mengingatkan pemerintah agar kebijakan larangan impor empat komoditas pangan tidak berbalik menjadi bumerang bagi pemenuhan kebutuhan dalam negeri.
“Menghentikan impor adalah proses bertahap yang membutuhkan strategi matang. Jangan sampai penghentian impor mendadak menjadi backfire (bumerang) bagi pangan kita,” ujar Eliza. Dikutip dari ANTARA
Belajar dari Kebijakan 2016
Eliza mencontohkan kebijakan pembatasan impor jagung pada 2016 yang memangkas impor sebesar 2,17 juta ton. Namun, langkah ini memicu lonjakan impor gandum hingga 3 juta ton sebagai substitusi jagung.
Berdasarkan pengalaman tersebut, Eliza menekankan perlunya strategi jangka panjang untuk meningkatkan produksi pangan lokal, termasuk memastikan hasil panen petani terserap maksimal oleh Bulog.
“Transformasi Bulog harus mencakup semua komoditas pangan strategis, bukan hanya beras, agar petani memiliki kepastian harga dan pasar,” jelasnya.
Swasembada Pangan Jadi Kebutuhan Mendesak
Eliza juga menyoroti pentingnya swasembada pangan di tengah pasar global yang semakin proteksionis. Ia menjelaskan bahwa situasi geopolitik, ketidakpastian perdagangan, dan dampak perubahan iklim membuat Indonesia tidak bisa terus bergantung pada rantai pasok global.
“Dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, kebutuhan pangan kita harus menjadi prioritas. Swasembada pangan adalah keniscayaan,” ujarnya.
Kebijakan Larangan Impor
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, mengumumkan larangan impor untuk empat komoditas pangan: beras konsumsi, jagung untuk pakan ternak, gula konsumsi, dan garam konsumsi.
Ia berharap kebijakan ini mendorong terwujudnya swasembada pangan dan memanfaatkan potensi besar yang dimiliki Indonesia.
Melalui langkah-langkah strategis dan penguatan produksi lokal, pemerintah diharapkan mampu mengurangi ketergantungan impor tanpa mengganggu kebutuhan pangan nasional.