Sistem jual beli dengan uang muka atau dikenal dengan istilah DP (Down Payment) telah menjadi bagian dari praktik bisnis yang umum di masyarakat. Namun, bagaimana pandangan Islam terhadap mekanisme ini? Artikel ini akan mengupas pengertian uang muka, hukum Islam yang mengaturnya, serta pandangan ulama kontemporer mengenai praktik ini.
Pengertian Uang Muka dalam Jual Beli
Secara bahasa, istilah uang muka dalam bahasa Arab disebut sebagai al-‘urbuun atau al-‘urbaan. Artinya, uang muka adalah sejumlah uang yang dibayarkan pembeli kepada penjual sebelum transaksi diselesaikan sebagai tanda jadi. Jika transaksi berlanjut, uang muka tersebut dihitung sebagai bagian dari harga barang. Namun, jika transaksi batal, uang muka sering kali menjadi hak milik penjual.
Contoh sederhana dari praktik ini adalah ketika seorang pembeli membayar sebagian harga barang di awal dan mengatakan:
- “Jika saya melanjutkan pembelian, uang ini akan dihitung sebagai pembayaran.”
- “Jika saya membatalkan transaksi, uang ini menjadi milik Anda (penjual).”
Dalam masyarakat, praktik ini dikenal sebagai uang jadi atau panjer.
Hukum Jual Beli dengan Uang Muka Menurut Islam
Hukum penggunaan uang muka dalam jual beli menjadi bahan perdebatan di kalangan ulama. Secara umum, pendapat ulama terbagi menjadi dua:
1. Pendapat yang Melarang
Mayoritas ulama dari Mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i menyatakan bahwa jual beli dengan uang muka tidak sah. Mereka berpendapat bahwa mekanisme ini mengandung unsur:
- Gharar (ketidakpastian) dan fasad (kerusakan).
- Memakan harta orang lain secara batil, yang dilarang dalam Al-Qur’an, surah An-Nisa ayat 29:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.”
Pendapat ini juga diperkuat oleh hadits Rasulullah Shallalahu alaihi wasallam:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْعُرْبَانِ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli dengan sistem uang muka.” (HR. Malik)
Imam Maalik berkata : “Dan inilah adalah yang kita lihat (pendapat kami–wallahu A’lam- ) seorang membeli budak atau menyewa hewan kendaraan kemudian berkata, ‘Saya berikan kepadamu satu dinar dengan ketentuan apabila saya membatalkan (tidak jadi) membeli atau tidak jadi menyewanya, maka uang yang telah saya berikan itu menjadi milikmu.1imam Malik dalam Al-Muwattha
Menurut ulama yang melarang, jual beli dengan uang muka menciptakan dua syarat yang tidak sah:
- Uang muka menjadi milik penjual tanpa adanya kompensasi yang jelas.
- Hak untuk membatalkan transaksi tanpa pengembalian uang muka.
2. Pendapat yang Membolehkan
Mazhab Hambali, serta beberapa sahabat seperti Umar bin Khattab dan Ibnu Umar, memperbolehkan praktik uang muka. Mereka berargumen bahwa:
- Hadits yang melarang praktik ini dinilai lemah (dhaif).
- Uang muka dapat dianggap sebagai kompensasi atas waktu dan peluang yang hilang dari penjual selama menunggu keputusan pembeli.
- Pembatasan waktu pada transaksi menghilangkan unsur ketidakpastian.
Pendapat Ulama Kontemporer
Beberapa ulama modern mendukung pendapat yang membolehkan jual beli dengan uang muka, asalkan memenuhi syarat-syarat tertentu. Misalnya:
- Syaikh Abdul Aziz bin Baz menyatakan bahwa mengambil uang muka diperbolehkan jika kedua belah pihak menyepakati syaratnya dan jual belinya tidak dilanjutkan.2Fiqh wa Fatawa Al-buyu, disusun ASyraf Abdul Maqshud
- Lajnah Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wa Al Ifta (Komite Tetap untuk Penelitian Ilmiah dan Fatwa di Arab Saudi) juga memperbolehkan praktik ini, asalkan waktu pembayaran sisanya dibatasi dengan jelas.3Fatawa Lajnah Daimah (13/132)
Majelis Fikih Islam juga menyepakati bahwa:
- Uang muka dianggap bagian dari harga barang jika transaksi dilanjutkan.
- Jika transaksi batal, uang muka menjadi milik penjual.
Keutamaan Mengembalikan Uang Muka
Walaupun Islam membolehkan uang muka menjadi milik penjual, mengembalikan uang muka kepada pembeli yang membatalkan transaksi dianggap lebih baik. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Shallalahu alaihi wasallam:
مَنْ أَقَالَ مُسْلِمًا أَقَالَهُ اللَّهُ عَثْرَتَهُ
“Barangsiapa yang berbuat iqaalah dalam jual belinya kepada seorang muslim maka Allah akan bebaskan ia dari kesalahan dan dosanya”
Iqalah dalam jual beli dapat digambarkan, seseorang membeli sesuatu dari seorang penjual, kemudian pembeli ini menyesal membelinya. Karena mengetahui sangat rugi atau sudah tidak membutuhkan lagi, atau tidak mampu melunasinya, lalu pembeli itu mengembalikan barangnya kepada penjual dan si penjual menerimanya kembali (tanpa mengambil sesuatu dari pembeli)
Kesimpulan
Hukum jual beli dengan uang muka dalam Islam memiliki dua pandangan yang sahih. Mayoritas ulama melarang praktik ini karena mengandung unsur ketidakpastian, sementara ulama lainnya membolehkannya dengan syarat-syarat tertentu. Dalam praktiknya, penjual dan pembeli disarankan untuk memperjelas syarat dan kesepakatan agar transaksi berlangsung sesuai syariat. Semoga pembahasan ini bermanfaat untuk Anda yang ingin menjalankan bisnis sesuai dengan prinsip Islam.
Referensi:
Kholid Syamhudi, Lc., Hukum Jual Beli Dengan Uang Muka. Diakses 1 Januari 2025 dari https://almanhaj.or.id/2648-hukum-jual-beli-dengan-uang-muka.html
______________
- 1imam Malik dalam Al-Muwattha
- 2Fiqh wa Fatawa Al-buyu, disusun ASyraf Abdul Maqshud
- 3Fatawa Lajnah Daimah (13/132)