Story

Kisah Hijrah yang Mengharu Biru Pemuda Tirai Bambu (Part 1)

USAHAMUSLIM.ID,MAKASSAR – Memperoleh ketenangan dan kedamaian, itulah yang dirasakan oleh Fuk Meng ketika awal-awal menyandang status muallaf pada tahun 1991 tatkala dirinya masih berusia 14 tahun. Banyak keberkahan yang didapatkannya setelah berhijrah dari keyakinan lamanya, yakni ‘Konghucu’ ke ajaran Islam, menjadi motivasi baginya untuk berani mengambil resiko diusir dari keluarganya.

Masa Kecil

Fuk Meng atau panggilan sehari-harinya Afu ini, lahir di kota Makassar pada 21 Juli 1977. Meskipun demikian, anak kelima dari 7 bersaudara ini hidup dalam keluarga keturunan China, menyebabkan keyakinan yang dianutnya sejak kecil mengikuti keyakinan dan ajaran keluarga besarnya, yakni aliran konfuchu.

“Keadaan kami 7 bersaudara dengan saya sebagai anak kelima dan anak tunggal laki-laki, persis seperti yang Rasulullah SAW sabdakan, bahwa setiap anak lahir diatas fitrahnya, tetapi dua orang tuanya yang menjadikannya Yahudi atau Nashrani atau Majusi” demikian tulis Afu dalam blognya.

Afu mengakui, bahwa dia dan keenam saudara-saudaranya lahir dari keluarga yang tidak memiliki perhatian besar pada masalah pendidikan anak. Sehingga hampir seluruh hari-hari di masa kecil Afu dihabiskan untuk bermain di luar rumah bersama teman-teman sepermainan yang sebagian besar adalah warga China di wilayah Pecinan, Jalan Irian, kota Makassar, Sulawesi Selatan.

“Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, bapak membuka usaha jahit menjahit dan ibu menjaga toko, sedangkan saya mengisi hari dengan bermain bersama teman-teman, sebagian dari keluarga muslim dan mayoritas dari keluarga non muslim.” Sebagaimana dikutip dari blog pribadinya.

Memasuki umur 6 tahun Afu kecil masuk ke sekolah dasar di salah satu SDN yang ada di jalan Irian, Makassar, dan itu untuk pertama kalinya ia harus menyesuaikan diri mengikuti pelajaran agama Budha sebagaimana orang-orang china lainnya, karena Konghucu tidak diakui di Indonesia sebagai agama, maka ajaran Budha yang dijadikan sebagai bidang studi agama di sekolah-sekolah yang ada di Pechinan, karena antara ajaran Budha dan Konghucu memiliki kemiripan.

Keputusan Berani Penuh Resiko

Ketika Afu naik kelas 5 SD, dia harus ikut pindah bersama orang tuanya ke alamat yang baru, yakni bermukim di sebuah lingkungan yang berpenduduk mayoritas Islam, di jalan Sibula Dalam kecamatan Bontoala, Makassar. Di tempat inilah Afu bergaul dan bermain bersama dengan teman-teman sepermainan yang beragama Islam.

Setamat SD, Afu melanjutkan sekolah di SMP Hang Tuah, dan mengharuskannya untuk ikut pelajaran agama Nasrani, karena bidang studi agama yang tersedia di sekolah itu hanya Islam dan Nashrani.

“Saya terpaksa harus mengikuti pelajaran agama Nashrani supaya tetap mendapatkan nilai. Juga karena tidak adanya pengingkaran berarti dari pendeta terhadap aliran keyakinan orang tua saya.” Tulisnya.

Di usia remajanya, Afu mengakui meskipun teman bergaulnya adalah anak-anak dari warga mayoritas Muslim, namun menurutnya, remaja-remaja tersebut masih jauh dari sentuhan hikmah dan ajaran agama. Mereka sering terlibat tawuran, minum-minuman keras, berjudi dan mencuri. Afu yang dikenal polos dan jujur tidak pernah terlibat dengan kenakalan yang mereka lakukan.

Ketika anak-anak lain melakukan kenakalan, Afu memilih menghabiskan waktu di sebuah tempat pencucian mobil yang tidak jauh dari rumahnya, yang sekaligus menjadi lahan mendapatkan kebutuhan ma’isyahnya dengan beberapa teman lainnya.

Bengkel dan pencucian mobil milik seorang haji itu berada tidak jauh dari sebuah mesjid. Haji sang pemilik bengkel yang tertib menjaga sholat dan rutin mendengar ceramah radio KH. Zainuddin MZ yang saat itu sangat populer, diam-diam menjadi perhatian Afu.

“Akibat keseringan ikut mendengar ceramah lewat radio di bengkel Pak Haji itu, menyebabkan saya tertarik dan diam-diam sering mencari gelombang siaran dakwah lewat radio itu dan mendengarnya di rumah, bapak-ibu setengah heran dengan apa yang saya buat, tapi mereka tidak menanggapi dengan serius karena bagi mereka asalkan saya tidak masuk Islam saja.”

Tapi lama-kelamaan, jiwa Afu merasakan ketenangan dan kedamaian, yang menimbulkan dorongan untuk mempelajari Islam lebih mendalam. Afu semakin keranjingan membaca buku-buku Islam, dia juga sering memperhatikan aktifitas santri-santri di sebuah pesantren yang berada tidak jauh dari rumahnya. Timbul keinginan dan angan-angan dalam jiwanya, untuk memeluk ajaran Islam.

Hingga saat dirinya duduk di kelas III SMP menjelang Ebtanas, cahaya hidayah itu pun menghampirinya. Dengan penuh keyakinan serta kemudahan dan tuntunan hidayah Allah, untuk pertama kalinya Afu melafadzkan dua kalimat syahadat di dalam kamarnya, dengan membaca lafazh latin dari syahadatain yang tertulis dalam buku Tuntunan Shalat yang dia pelajari secara sembunyi-sembunyi. Buku itu dia sembunyikan dalam lemari pakaian miliknya. Mengucapkan syahadatain adalah sebuah keputusan berani dengan setumpuk resiko yang pastinya berat, yang dia sadari harus siap dia hadapi.

Waktu berlalu, dan ketika Afu merasakan jiwanya semakin mantap, pemuda belia itupun mendatangi rumah pimpinan pesantren yang selama ini menjadi pusat perhatiannya dan mengundang rasa penasarannya. Maksud kadatangannya menemui pimpinan pesantren adalah ingin mempersaksikan keislamannya. Mendengar keinginannya untuk memeluk Islam, pimpinan Pesantren An Nahdlah, Drs. KH. Muh. Haritsah AS mengaku takjub melihat seorang anak seusia itu berani mengambil sebuah keputusan besar dan berani.

Setelah menanyakan beberapa hal, Kiyai itupun menuntun Afu untuk kembali mengucapkan dua kalimat syahadat, lalu membuatkan surat pernyataan masuk Islam disaksikan salah seorang guru di pesantren, Abdul Majid Abdullah. Afu kemudian diberi sebuah nama Islam, yakni Fuad. Cukup dengan membalikkan nama yang sudah ada, “Afu” menjadi “Fuad”

Seusai mempersaksikan keislamannya, Afu yang telah berganti nama menjadi “Fuad” itu semakin rajin menelaah buku tuntunan shalat yang selama ini dia sembunyikan di lemari pakaiannya. Kini bukan sekedar membacanya saja, tetapi dia memberanikan diri mempraktekkan shalat, mengikuti apa yang tertulis dalam buku tersebut. Terlebih setelah dia membaca bahwa hukum shalat lima waktu adalah wajib, berpahala bagi yang melakukannya dan mengundang murka Allah bagi siapa yang meninggalkannya.

Diganggu Jin, Diintai Orang Tua

“Saya membaca dalam buku itu bahwa Shalat mempunyai syarat sah, rukun, wajib, dan sunnah. Saya pun mengetahui hal itu dengan melihat kebiasaan kaum muslimin, sebelum mereka mengerjakan shalat diwajibkan berwudhu, demikian juga wajib sucinya pakaian dan tempat sebagai syarat sah shalat. Maka setiap tiba waktu shalat, saya buru-buru berwudhu di rumah tanpa sepengetahuan orang tua. Saya juga mulai menjaga diri dari najis, khususnya dari bekas-bekas babi yang merupakan makanan istimewa orang tua yang tiada pekan tanpa makan babi. Setelah berwudhu saya masuk kamar kakak sebab saya sendiri tidak punya kamar khusus, menguncinya lalu mengerjakan shalat. Saya shalat sesekali dengan membaca tulisan latin dari bahasa arabnya, lebih sering menggunakan bahasa Indonesia, membaca terjemahan yang ada dibawah bacaan arabnya.” Demikian tulis Afu di blog pribadinya.

Bagi Fuad, melaksanakan shalat adalah sebuah pengalaman yang baru pertama kali dia lakukan selama hidupnya. Sebuah peristiwa aneh dan unik kerap dialaminya ketika sedang melaksanakan sholat di kamar. Dirinya sering merasa dibelokkan dari arah kiblat, dan itu terjadi pada semua posisi shalat selain rukuk dan sujud.

“Setiap saya memaksa tubuh agar kembali ke posisi yang benar, tulang-tulang saya terasa sakit, semakin saya berusaha untuk mengembalikan ke arah kiblat semakin sakit.”

Fuad sangat memahami bahwa menghadap kiblat adalah salah satu syarat sahnya sholat, sehingga dalam kondisi dirinya merasa dipalingkan dari arah yang benar, dia berusaha menghadap kiblat. Berkali-kali dia harus mengulangi shalat, karena merasa salah menghadap, ketika berdiri membaca Al Fatihah, I’tidal, duduk diantara dua sujud, maupun tasyahud. Dia sering mengulangi sholat hingga tak terhitung berapa kali, sampai dirinya benar-benar yakin arah menghadapnya telah benar.

Masa-masa awal mengerjakan shalat dan pergelutannya dalam memperbaiki arah menghadap kiblat itu, dirasakannya sebagai perjuangan yang cukup berat dan menimbulkan keanehan-keanehan yang mau tidak mau, sulit disembunyikan dan terpaksa mengundang perhatian orang. Acap kali ketika sedang berkumpul dengan teman-teman, Fuad tiba-tiba saja berjalan pincang, terutama menjelang Maghrib, lalu tak lama berselang normal kembali.

“Setiap kali saya berniat menyampaikan keanehan ini kepada seseorang yang saya anggap bisa mengobati, leher saya justru dipermainkan oleh jin. Keadaan ini saya alami dua pekan sampai akhirnya berlalu dengan izin Allah. Atas kejadian itu, saya menjadi percaya bahwa Allah Yang Maha Pemurah tidak mungkin akan membebani hamba-Nya dengan sesuatu yang melebihi kemampuannya. Sejak saat itu, kalau dalam shalat terjadi hal yang sama, bahkan seringkali dalam posisi tasyahhud badan berputar 80 derajat, saya tetap meneruskan shalat. Saya memilih untuk diam dan tidak menceritakan keanehan itu kepada siapapun karena khawatir orang tua mengetaui saya masuk Islam.”

Namun lama-kelamaan, berita mengenai dirinya yang telah memeluk Islam itu tersebar. Berawal dari kebiasaannya yang suka membaca buku-buku Islam, serta bagaimana dia memilih kawan sepermainan yang rajin dan taat melaksanakan shalat. Qodarullah, melalui pembicaraan dari mulut ke mulut, akhirnya kabar itupun sampai ke telinga kedua orang tuanya.
Untuk memastikan kabar tersebut benar atau tidak, tanpa sepengetahuan dirinya, kedua orang tua Fuad mulai melakukan pengawasan. Semua gerak-geriknya diintip dan diintai, hingga suatu ketika, Fuad tertangkap basah sedang melakukan shalat di kamar. Kedua orang tua Fuad yang mengintip dari lobang angin terperanjat kaget seakan tidak percaya dengan apa yang mereka saksikan, remaja China itu, yang selama ini mereka kenal sebagai anaknya itu, terlihat sedang melakukan gerakan-gerakan aneh dan asing di mata mereka.

“Mereka meneriakiku, dan seketika terjadi sesuatu yang sudah saya bayangkan, sebuah resiko yang harus saya terima. Itu adalah masa-masa pertikaian antara saya dengan keluarga. Saya harus meninggalkan rumah orang tua. Meskipun, akhirnya mereka kembali memanggil saya pulang, namun saya tetap memilih tidak pulang, karena sulitnya menghindari najis di rumah menjadi sesuatu yang sangat berat bagi saya dalam menjalankan ibadah saya yang baru, dan menjadikan saya memilih untuk lebih banyak menghabiskan waktu di mesjid,.”

Bersambung ke Kisah HIjrah Mengharu Biru Part-2

Show More

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Back to top button