Berita

Saat Tagar #KaburAjaDulu Viral, Aryo Wiryawan Buktikan Peluang Besar di Indonesia

Donggala – Di saat sebagian anak muda Indonesia pesimistis dengan prospek pekerjaan di dalam negeri, seorang pengusaha muda, Aryo Wiryawan (45), justru membuktikan bahwa peluang besar tetap ada bagi mereka yang mau berinovasi.

Di tengah maraknya tagar #KaburAjaDulu di media sosial—sebuah ekspresi kekecewaan generasi muda terhadap sulitnya mendapatkan pekerjaan layak di Indonesia—Aryo mengambil langkah berbeda. Ia memilih untuk mengembangkan budidaya tambak udang berkelanjutan di Desa Lalombi, Kecamatan Banawa Selatan, Donggala, Sulawesi Tengah.

Lulusan Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta ini melihat potensi besar yang dimiliki Indonesia dalam industri perikanan. Dengan kekayaan alam yang melimpah, Indonesia pernah menjadi salah satu produsen tambak udang terbesar di dunia. Namun, dalam dua tahun terakhir, posisi Indonesia merosot ke peringkat lima dunia, kalah dari Ekuador, India, China, dan Vietnam.

Menurut Aryo, penyebab utama kemunduran ini adalah kurangnya branding yang kuat serta minimnya penerapan budidaya yang berkelanjutan.

Inovasi Budidaya Udang Ramah Lingkungan

Melalui perusahaannya, JALA Tech, Aryo menciptakan sistem Closed Sustainable Shrimp Farming (CSSF) yang mengintegrasikan tambak udang dengan ekosistem mangrove. Teknologi ini bertujuan menjaga keberlanjutan lingkungan sekaligus meningkatkan produktivitas tambak.

Sistem ini memanfaatkan 12 hektare tambak, di mana 6,5 hektare difokuskan untuk konservasi mangrove dan kolam pengolahan limbah, sementara hanya 3,5 hektare digunakan untuk tambak udang. Dengan metode ini, limbah tambak diolah terlebih dahulu sebelum dialirkan kembali ke laut, memastikan kualitas air tetap terjaga.

Tak hanya itu, Aryo juga menerapkan teknologi berbasis Internet of Things (IoT) untuk memantau kualitas air tambak secara real-time, memastikan lingkungan budidaya tetap optimal bagi pertumbuhan udang.

Potensi Keuntungan Besar dan Daya Tarik Investor Asing

Dari segi ekonomi, inovasi ini terbukti menguntungkan. Setiap hektare tambak di Desa Lalombi mampu menghasilkan 35 ton udang vaname segar per siklus (empat bulan). Dengan harga pasar sekitar Rp62.000 per kilogram, satu hektare tambak bisa menghasilkan pendapatan hingga Rp2,17 miliar per siklus. Jika target produksi dari seluruh tambak tercapai, potensi pendapatan bisa mencapai Rp24,6 miliar per tahun—jauh lebih tinggi dibandingkan tambak tradisional yang hanya menghasilkan 8-20 ton per hektare.

Keberhasilan ini menarik minat investor asing, terutama dari Jepang. Negara yang terkenal dengan konsumsi seafood premium ini melihat potensi besar dalam sistem CSSF yang dikembangkan Aryo, bahkan disebut sebagai inovasi pertama di Asia.

Dampak Sosial dan Kebangkitan Desa Lalombi

Lebih dari sekadar bisnis, Aryo ingin menghidupkan kembali kejayaan Desa Lalombi sebagai sentra produksi udang tambak, seperti era 1990-an. Oleh karena itu, ia berkomitmen memberdayakan masyarakat lokal dalam pengelolaan tambak.

“Kami ingin memastikan bahwa budidaya tambak ini tidak hanya menguntungkan secara finansial, tetapi juga berkelanjutan bagi lingkungan dan bermanfaat bagi masyarakat setempat,” ujarnya. Dikutip dari antaranews.com

Optimisme Aryo dan timnya di tengah persaingan global dan tantangan lingkungan membuktikan bahwa Indonesia masih memiliki peluang besar bagi anak muda yang mau berinovasi. Di saat sebagian memilih “kabur”, ia justru melihat bahwa masa depan ada di tanah sendiri.

Show More

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Back to top button