Berita

Logo Halal Indonesia, Dibuat Kementerian Agama tapi Wewenang Berfatwa tetap di Tangan Ulama

USAHAMUSLIM.ID, MAKASSAR – Hingga saat ini polemik terkait penetapan logo Halal Indonesia yang dikeluarkan Kementerian Agama melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) masih terus berlanjut.

Penerbitan logo Halal yang baru ini sekaligus menjadi babak baru sertifikasi halal di Indonesia sejak negara ini terbentuk.

Logo Halal Indonesia yang bentuknya menyerupai gunung wayang ini mulai berlaku secara nasional sejak Maret 2022 ini, melalui Keputusan BPJPH Nomor 40 Tahun 2022.

Sebagaimana kita ketahui, bahwa sertifikasi halal secara institusi memang merupakan kewajiban pemerintah berdasarkan UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Namun, selama ini pemerintah telah melimpahkan tugas sertifikasi halal itu kepada Majelis Ulama Indonesia. Baik sertifikasinya maupun pembuatan logonya, menjadi kewenangan MUI sampai terbitnya logo halal baru yang dikeluarkan oleh kementerian agama Republik Indonesia pada Maret 2022 ini.

Menyikapi hal itu anggota komisi fatwa MUI provinsi Sulawesi Selatan, Dr. KH. Yusri Muhammad Arsyad, Lc.,MA mengatakan dengan terbitnya label halal Indonesia itu, maka logo lama yang diterbitkan oleh MUI secara bertahap tidak lagi berlaku.

“Logo halal yang dikeluarkan MUI, secara bertahap akan dinyatakan tidak berlaku lagi, tetapi meski begitu, fatwa halal akan tetap menjadi wewenang MUI” katanya.

Menurut Yusri, pihak kemenag hanya mengubah logo halal tetapi kewenangan mengeluarkan fatwa halal tetap ada di tangan MUI. Artinya MUI tetap memiliki wewenang untuk menetapkan kehalalan sebuah produk. Hal itu termaktub dalam pasal 33 UU JPH sebagaimana dijelaskan, bahwa penetapan kehalanan produk dilakukan dalam sidang fatwa halal dengan melibatkan berbagai pihak, di antaranya para ahli, pakar, lembaga pemerintah dan instansi terkait.

Jawa Sentris dan Salah Makna

Dosen Ilmu Hukum Ekonomi Syariah, Universitas Muslim Indonesia ini menyoroti logo halal MUI yang sebelumnya berwarna hijau kini diganti oleh Kemenag menjadi warna ungu.

“Selain itu, logo halal baru yang ada saat ini juga dinilai Jawa Sentris, bentuknya yang mirip gunung wayang itu hanya mewakili satu etnis, padahal kita semua tau, bahwa di Indonesia ini ada banyak suku selain Jawa. Bentuk tulisan halalnya pun tidak jelas karena mengikuti lekukan gunungan wayang. Bila kita cermati dengan baik, tulisan arab yang ada dalam logo yang baru itu tidak bertuliskan ‘halal’ tetapi ‘Khalak’ yang artinya merusak.” jelasnya.

Ditanya mengenai syarat apa saja yang ditetapkan oleh MUI selama ini untuk menentukan sebuah produk bisa mendapatkan sertifikat halal, dijelaskan oleh kepala Bidang Sistem Jaminan Produk Halal dari LPPOM MUI Sulsel, Raudhatul Jannah Syarif, STP.

Menurutnya, sebuah produk berhak mendapatkan sertifikat halal apabila memenuhi syarat antara lain;

  1. Pihak produsen mengikuti pelatihan

Sebuah perusahaan diwajibkan untuk memahami segala persyaratan sertifikasi halal yang tercantum dalam HAS 23000.
Untuk itu setiap perusahaan atau produsen diharuskan untuk mengikuti pelatihan yang diadakan oleh LPPOM MUI, baik berupa pelatihan regular maupun pelatihan online (e-training).

2. Menerapkan Sistem Jaminan Halal (SJH)

Setelah mengikuti pelatihan dan telah memahami sistem jaminan halal (SJH) selanjutnya sebuah perusahaan melakukan pendaftaran produk.

“Namun sebelum melakukan pendaftaran sertifikasi halal, sebaiknya perusahaan yang bersangkutan sudah harus menerapkan Sistem Jaminan Halal terhadap perusahaannya seperti penetapan kebijakan halal, penetapan Tim Manajemen Halal, pembuatan Manual SJH, pelaksanaan pelatihan, penyiapan prosedur terkait SJH, pelaksanaan internal audit.” jelas Raudhatul Jannah Syarief.

3.Menyiapkan sejumlah dokumen sertifikasi halal

Beberapa dokumen yang harus dipenuhi oleh perusahaan sebelum mendaftarkan produk halalnya, antara lain; daftar bahan dan dokumen bahan, daftar penyembelih (RPH), matriks produk, manual SJH, diagram alur proses, daftar alamat fasilitas produksi, bukti sosialisasi kebijakan halal, bukti pelatihan internal serta bukti audit internal.

Lebih lanjut Kepala Bidang Penerapan SJH LPPOM MUI Sulsel itu menjelaskan, selain memahami syarat syarat pengajuan sertifikasi, setiap perusahaan/produsen juga perlu mengetahui besaran biaya yang harus dibayarkan sesuai dengan klasifikasi produk yang didaftarkan.

Untuk dapat mengetahui biaya yang harus dikeluarkan untuk pembuatan sertifikat halal MUI, para produsen bisa menanyakannya secara langsung dengan cara mengirim email ke bendahara LPPOMMUI melalui email bendaharalppom@halalmui.org dengan menginformasikan jenis, jumlah, dan lokasi produksi.

Namun sebagai estimasi biaya, berikut ini usahamuslim.id akan membeberkannya sebagai berikut:

1. Level A

Produsen untuk klasifikasi level A ini ditempati oleh perusahaan yang masuk dalam kategori industri besar. Industri besar sendiri merupakan industri yang memiliki lebih dari 20 karyawan. Biaya yang harus dikeluarkan oleh industri besar adalah Rp 2 juta sampai Rp 3,5 juta.

2. Level B

Untuk kategori level B ini ditempati oleh perusahaan atau industri berskala kecil. Perusahaan yang memiliki jumlah karyawan sebanyak 10-20 orang termasuk di dalam kategori level B ini.

Biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan sertifikat halal bagi level B adalah Rp1,5 juta sampai Rp 2 juta.

3.Level C

Perusahaan yang masuk kategori level C adalah industri rumahan yang memiliki karyawan kurang dari 10 orang. Untuk mendapatkan sertifikat halal, level C hanya membutuhkan Rp1 juta.

Namun biaya-biaya tersebut di atas belum termasuk biaya-biaya untuk Auditor, Registrasi, dan Pelatihan.

Ada penambahan biaya sebesar Rp200 ribu jika perusahaan memiliki outlet. Apabila ada penambahan produk, maka akan dikenakan biaya yaitu;

-Level A Rp150 ribu/produk,

-Level B Rp100 ribu/produk, dan

-Level C Rp50 ribu/produk.

Biaya pelatihan perusahaan sebesar Rp1,2 juta/orang, sedangkan UKM sebesar Rp500 ribu/orang.

Penetapan pembiayaan tersebut sesuai dengan SK 02/Dir LPPOMMUI/I/13. Untuk UKM atau industri rumahan yang terhalang masalah biaya, jangan khawatir karena LPPOM MUI memiliki kebijakan untuk subsidi pembiayaan. Jadi, mendapatkan sertifikat halal MUI jauh lebih mudah.

“Intinya, prosedur pengajuan sertifikat halal itu cukup mudah, produsen melakukan pendaftaran di BPJPH dengan menyetorkan dokumen-dokumen yang dipersyartkan yaitu izin usaha dan aspek legal lainnya, daftar produk, daftar bahan , penyelia halal dan manual sistem jaminan halal. Dalam pendaftaran ini juga pelaku usaha harus memilih LPH– lembaga pemeriksa halal — yang akan melakukan audit– salah satunya LPPOM MUI— setelah itu audit dan lanjut dengan fatwa dari MUI. Setelah fatwa, BPJPH akan menerbitkan Sertifikat Halal.” pungkas Raudhatul Jannah.

Menurutnya, sekarang ini yang mengeluarkan sertifikat halal adalah Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) di bawah naungan kementerian agama berdasarkan regulasi yang ada yaitu UU No. 33 Tahun 2014, sehingga semua bentuk peraturan turunannya harus mengikuti prosedur yang berlaku.(UM)

Show More

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Back to top button