Hijrah Bisnis: Kisah Nyata Toni & Istrinya
Dari Manager Telekomunikasi ke Penjual Singkong:

Hijrah Bisnis – Kalau ditanya apa keputusan paling nekat dalam hidup saya, mungkin jawabannya adalah: meninggalkan jabatan sebagai Regional Marketing Manager di perusahaan telekomunikasi untuk berjualan singkong di kampung halaman. Ya, kamu nggak salah baca. Dari duduk di balik meja kantor dengan gaji tetap, saya memilih turun ke jalan jualan Singkong Keju Argo Telo.
Ini bukan sekadar cerita soal resign dari kerja kantoran. Ini tentang titik balik hidup saya dan istri, bagaimana kami jatuh ke titik terendah dan menemukan harapan dalam hal sederhana: singkong.
Dari Spanduk ke Spanduk Hidup
Saya, Toni Anandhiya Wicaksono, berasal dari Salatiga. Sejak SMA memang sudah senang berwirausaha—jualan kaos, makanan, dan lain-lain. Tapi hidup kemudian membawa saya ke dunia korporat. Saya pernah jadi tukang panjat pasang spanduk iklan hingga akhirnya menduduki posisi prestisius sebagai Marketing Manager regional di perusahaan telekomunikasi.
Tapi sayangnya, keberhasilan di dunia kerja tidak menjamin keberhasilan hidup secara keseluruhan.

Ketika Politik dan Riba Menghancurkan Segalanya
Kami pernah mencoba peruntungan di dunia politik. Modalnya? Sayangnya, hasil dari pinjaman berbasis riba. Kami juga sudah merintis bisnis IO dan reklame, tapi semua roboh ketika saya gagal di pencalonan legislatif. Hutang menumpuk, nilainya mencapai ratusan juta rupiah.
Yang lebih menyakitkan? Anak pertama kami meninggal dalam kandungan saat usia 8 bulan. Belum sempat merasakan dunia, dia sudah lebih dulu dipanggil. Kami hancur, baik mental maupun finansial.
Ketika Uang Hanya Tersisa Dua Ribu Rupiah
Pernah suatu hari, anak kedua kami lahir prematur dengan berat hanya 1 kg. Kami benar-benar tidak punya uang. Saya hanya punya Rp2.000 di dompet. ATM kosong. Tabungan yang seharusnya untuk kelahiran pun habis dipakai untuk kampanye.
Saya terduduk di mushola rumah sakit, tidak tahu harus bagaimana. Sampai akhirnya ayah saya datang dan berkata, “Rezekinya cucumu, kayu bapak yang lama nggak laku, hari ini laku.” Dan ternyata jumlah penjualannya sama persis dengan biaya rumah sakit. Saat itulah saya merasa: ini bukan kebetulan. Ini petunjuk.
Resign, Tapi Bukan Akhir
Saya akhirnya memutuskan resign, meski istri saya saat itu sedang hamil anak kedua. Rasanya egois, tapi hati saya sudah nggak sanggup lagi hidup dalam tekanan. Kantor baru tempat saya kerja juga tidak memberi ketenangan karena saya sadar, perusahaan itu adalah perusahaan rokok—penghasilan syubhat yang tidak berkah.
Dan benar saja, meski gaji lebih besar, hutang saya tak berkurang sedikit pun selama 9 bulan bekerja. Semua terasa buntu.
Titik Balik: Hijrah ke Singkong
Di satu sore bulan Ramadan, saat saya hanya membawa sebotol air mineral di atas motor dan botol itu jatuh ke jalan, saya menangis. Saya sadar, bahkan untuk minum pun saya diuji. Itulah titik baliknya.

Saya pulang ke kampung. Kami memutuskan memulai usaha olahan singkong. Namanya: Singkong Keju Argo Telo. “Argo” berarti gunung, “Telo” adalah singkong dalam bahasa Jawa. Filosofinya, kami ingin usaha ini seperti gunung—memberi manfaat bagi banyak orang.
Istri saya awalnya ragu. Wajar. Yang tadinya terbiasa pegang laptop, sekarang harus kupas singkong. Tapi kami sepakat: coba dulu tiga bulan. Kalau gagal, saya balik kerja kantoran.
Youtube Jadi Guru, Kompor Jadi Harapan
Kami belajar dari nol. Serius. Mulai dari nonton tutorial YouTube sampai trial and error di dapur. Istri saya sampai menangis, tangan lecet karena kupas singkong tiap malam.

Tapi kami terus jalan. Orderan pertama datang dari… orang tua kami sendiri! Mereka beli lalu dijual ke teman-temannya tanpa kami tahu. Ternyata, orang tua kami ingin menjaga semangat kami tetap menyala. Tanpa disadari, dukungan mereka membuat usaha ini mulai bergerak.
Dari Trauma Jadi Produk Berkualitas
Kami mulai dari jualan keliling. Dari satu box ke lima box, dari lima ke sepuluh. Semangat kami tumbuh, terutama karena kami merasa usaha ini berkah. Kami tinggalkan bisnis berbasis riba. Kami tinggalkan dunia kerja yang membuat hati sesak. Dan kami hijrah ke jalur yang lebih menenangkan: usaha singkong.
Hari demi hari, kami belajar. Bukan cuma soal resep dan pemasaran, tapi juga soal hidup dan keikhlasan. Kami pernah di titik minus, dan sekarang kami mulai merasa pulih—pelan-pelan, tapi pasti.
Kesimpulan: Singkong Adalah Pilihan, Bukan Keterpaksaan
Bagi kami, singkong bukan makanan kelas dua. Justru dari singkong inilah kami belajar arti ketekunan, kejujuran, dan keberkahan. Keputusan resign dan berjualan singkong bukan karena putus asa, tapi karena kami sadar: rezeki tak hanya datang dari gaji, tapi dari ketulusan usaha.
Jika kamu sedang merasa terjebak di pekerjaan yang membuatmu lelah lahir batin, mungkin ini saatnya mempertimbangkan jalur lain. Bukan berarti semua orang harus jualan singkong. Tapi apa pun jalannya, pastikan itu jalan yang membawa kedamaian dan keberkahan.
Kalau kamu tertarik mulai usaha dari nol dan butuh inspirasi, cerita ini bisa jadi penguat semangat. Jangan lupa bagikan artikel ini kalau kamu merasa relate, dan siapa tahu kamu bisa jadi pelaku usaha singkong selanjutnya!
💡 Ingin belajar lebih banyak soal usaha kecil berbasis kuliner lokal? Kunjungi YouTube Channel Pecah Telur sekarang juga.