Jenis-Jenis Keharaman Dalam Muamalah

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam yang dengan kasih sayang-Nya diciptakan oleh-Nya siang dan malam, matahari dan bulan, serta bintang-bintang yang mengorbit sesuai garis edarnya seraya berdzikir kepada-Nya. Shalawat dan salam tercurah limpahkan kepada yang tekasih Sayyidul Anbiya’ Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam yang melalui perantara kesabaran serta keindahan akhlak beliau, Islam dan syari’atnya tersebar luas membumi yang diteruskan oleh para sahabat dan ulama-ulama yang senantiasa teguh di atas petunjuk hingga hari ini. Semoga Allah merahmati mereka.
Syariat islam dengan segala hikmah kebaikannya untuk manusia, telah menggariskan rambu-rambu yang teramat gamblang di dalam Al-Qur’an dan sunnah serta diteruskan dengan penjelasan para ulama di sepanjang zaman. Tidak terkecuali tentang harta dan cara mendapatkannya. Sebagai seorang muslim, halal haramnya harta tentu merupakan pertimbangan utama ketika akan memutuskan suatu hal yang berkaitan dengannya. Allah ta’ala, berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 168)
Allah menjadikan yang halal lebih banyak, dibandingkan yang haram bagi manusia. Lalu apa yang dimaksud dan dapat dikategorikan sebagai harta haram?
Definisi harta haram menurut syariat adalah
المال المتخذ من طريق محرمة ، كمال السرقة ، وكسب البغي ، ومال الربا ونحوه
“Harta yang diperoleh dari cara yang haram, seperti harta hasil curian, upah pezina, harta riba dan lain sebagainya.”
Dalam syari’at Islam secara umum, jenis-jenis keharaman dalam muamalah bermuara pada dua kategori berikut :
1. Harta Haram Li Dzatihi (Karena Dzatnya)
Yaitu sesuatu yang secara dzat atau unsurnya itu sendiri memang telah diharamkan oleh syari’at. Allah ta’ala, berfirman :
قُلْ لَّآ اَجِدُ فِيْ مَآ اُوْحِيَ اِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلٰى طَاعِمٍ يَّطْعَمُهٗٓ اِلَّآ اَنْ يَّكُوْنَ مَيْتَةً اَوْ دَمًا مَّسْفُوْحًا اَوْ لَحْمَ خِنْزِيْرٍ فَاِنَّهٗ رِجْسٌ اَوْ فِسْقًا اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّٰهِ بِهٖۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَّلَا عَادٍ فَاِنَّ رَبَّكَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Katakanlah, “Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi – karena semua itu kotor – atau hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah. Tetapi barangsiapa terpaksa bukan karena menginginkan dan tidak melebihi (batas darurat) maka sungguh, Tuhanmu Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-an’am:145)
Dalam ayat di atas telah jelas bahwa babi, darah, bangkai serta hewan sembelihan yang disembelih bukan atas nama Allah dan tentu saja produk turunannya yang mengandung unsur-unsur haram tersebut, seluruhnya haram untuk dimanfaatkan dalam hal apapun. Karena keharamannya terletak pada dzatnya, maka hal-hal tersebut tidak akan bisa menjadi halal walaupun melalui perpindahan kepemilikan dengan sebab yang halal.
Zaman sekarang ini telah begitu banyak dan semakin tersamarkan produk-produk yang mengandung dzat atau unsur yang diharamkan syari’at, maka sebagai seorang muslim hendaknya lebih cakap dan berhati-hati terhadap produk-produk yang tidak tercantum label Halal MUI dan disarankan untuk sebaiknya dihindari saja.
Selain hal-hal yang secara zat memang haram, contoh lain dari harta haram dan bentuk muamalah-nya adalah jual beli daging dan/dari olahan babi seperti produk yang mengandung gelatin dari tulang babi dan lain sebagainya. Serta pemberian makanan dari non-muslim khususnya selain ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) yang telah diketahui dengan pasti bahwa sembelihan tersebut adalah hasil dari ritual ibadah mereka dan harta-harta lain yang berkaitan dengannya
2. Harta Haram Li Kasbihi (Karena Cara Memperolehnya)
Yaitu sesuatu yang hukum asal dzatnya adalah halal, namun menjadi haram karena cara mendapatkannya yang haram. Harta jenis ini terbagi menjadi dua :
1. Sesuatu yang didapatkan tanpa ridha (kerelaan) pemilik sebelumnya.
Seperti harta hasil curian atau korupsi, maka harta ini diharamkan atas pelakunya dan orang yang menerima harta tersebut dari pelaku jika ia mengetahui asal harta tersebut, karena harta tersebut harus dikembalikan kepada pemilik aslinya, dan menerima harta tersebut dengan mengetahui asalnya berarti ikut serta dalam kedzaliman dan dosa.
2. Sesuatu yang didapatkan dengan ridha kedua pihak namun transaksi keduanya adalah kesepakatan yang tidak diperbolehkan oleh syari’at
Contohnya adalah harta hasil kesepakatan riba yang kedua belah pihak saling rela. Harta yang demikian ini haram bagi pelakunya, namun halal bagi orang yang menerima harta tersebut dari pelaku selama cara perpindahannya halal. Dallilnya adalah bahwa nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasalam bertransaksi serta menerima pemberian dari orang Yahudi meskipun mengetahui kebiasaan transaksi riba mereka. Karena keharamannya terkait dengan dzimmah (tanggungan), bukan spesifik terkait harta dengan hartanya. Maka ketika harta tersebut berpindah kepemilikan, dosa dari pendapatan haram tersebut tetap berada pada dzimmah pemberi (pelaku transaksi riba) dan tidak ikut serta berpindah kepada penerimanya. Dan berdasarkan penjelasan ini, maka dibolehkan bagi istri dan anak-anak pegawai bank konvensional atau mereka yang berpendapatan dari pekerjaan yang haram lainnya untuk menerima serta memanfaatkan hasil gajinya dengan tetap berusaha menasihatinya agar keluar dari pekerjaan yang haram tersebut.
Demikianlah jenis-jenis keharaman dalam muamalah yang penting bagi seorang muslim untuk mengetahuinya. Semoga Allah jaga kaum muslimin dari harta dan transaksi haram. Amiin