Tupperware di Ambang Kebangkrutan, Berencana Ajukan Kepailitan
USAHAMUSLIM.ID, Jakarta – Tupperware Brands, perusahaan peralatan rumah tangga yang terkenal dengan produk penyimpanan makanannya, dikabarkan akan segera mengajukan kepailitan. DIlansir dari Bloomberg pada Selasa (17/9/2024), mengutip sumber yang mengetahui secara langsung masalah tersebut. Langkah ini merupakan hasil dari usaha bertahun-tahun perusahaan untuk bertahan di tengah permintaan yang terus menurun. Namun, sayangnya, upaya tersebut tampaknya menemui jalan buntu.
Tupperware telah lama berjuang untuk memenuhi kewajibannya terkait utang yang terus membengkak. Perusahaan ini dilaporkan berencana meminta perlindungan hukum setelah gagal memenuhi ketentuan-ketentuan utang yang ada. Menurut sumber yang enggan disebutkan identitasnya, Tupperware telah mendapatkan bantuan dari penasihat hukum dan keuangan guna mempersiapkan langkah-langkah penyelamatan.
Saham perusahaan pun mengalami penurunan drastis, dengan penurunan lebih dari 50% yang tercatat pada perdagangan Selasa sore di New York. Kondisi ini dipicu oleh ketidakpastian negosiasi antara Tupperware dan para krediturnya, yang terus berlangsung tanpa hasil yang jelas. Tupperware diketahui memiliki beban utang lebih dari US$700 juta, dengan kreditur yang pada awal tahun ini memberikan sedikit kelonggaran dalam ketentuan pinjaman. Meski begitu, kondisi perusahaan terus memburuk.
Rencana pengajuan kepailitan Tupperware sebenarnya belum final dan masih bisa berubah, tergantung pada perkembangan negosiasi yang sedang berlangsung. Ketika dimintai konfirmasi, perwakilan dari Tupperware memilih untuk tidak memberikan komentar lebih lanjut mengenai situasi ini.
Pada bulan Juni lalu, perusahaan telah mengambil langkah drastis dengan menutup satu-satunya pabrik di Amerika Serikat dan melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap sekitar 150 karyawan. Ini merupakan bagian dari langkah pemotongan biaya yang diambil guna memperpanjang nafas perusahaan di tengah situasi yang semakin tidak menguntungkan.
Tak hanya itu, pada tahun 2022, Tupperware juga mengganti CEO mereka, Miguel Fernandez, dan beberapa anggota dewan lainnya sebagai bagian dari upaya untuk menyelamatkan perusahaan. Laurie Ann Goldman kemudian ditunjuk sebagai CEO baru dengan harapan dapat membawa perubahan yang dibutuhkan. Namun, pergantian kepemimpinan ini tampaknya belum memberikan dampak signifikan bagi stabilitas perusahaan.
Tupperware pertama kali diperkenalkan kepada publik pada tahun 1946 oleh pendirinya, Earl Tupper, yang menemukan teknologi segel kedap udara yang revolusioner pada produk plastiknya. Produk ini dengan cepat mendapatkan popularitas, terutama di Amerika Serikat, di mana sebagian besar penjualannya dilakukan oleh para ibu rumah tangga melalui sistem penjualan langsung.
Di masa jayanya, Tupperware tidak hanya terkenal di Amerika Serikat, tetapi juga di berbagai negara lain. Produk ini menjadi simbol kesuksesan penjualan langsung, di mana pada tahun 2022 tercatat lebih dari 300.000 penjual independen yang terlibat dalam bisnis ini.
Namun, dalam beberapa dekade terakhir, model bisnis Tupperware mulai mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan perubahan pasar. Salah satu faktor utama yang menyebabkan kemerosotan perusahaan adalah beralihnya preferensi konsumen dari penjualan langsung menuju e-commerce dan platform digital. Sementara pesaing lain mulai berinvestasi dalam strategi pemasaran digital, Tupperware terlambat beralih dan tetap bergantung pada penjualan langsung tradisional.
Selain itu, inovasi produk yang stagnan juga turut memperburuk kondisi perusahaan. Konsumen kini memiliki banyak pilihan produk penyimpanan makanan yang lebih terjangkau dan mudah ditemukan di toko-toko online maupun offline. Hal ini membuat daya tarik produk Tupperware semakin berkurang di pasar global.
Masa depan Tupperware saat ini berada di ujung tanduk. Meski masih ada peluang untuk restrukturisasi, langkah ini tidak mudah. Perusahaan harus mampu menemukan cara untuk mengurangi beban utang yang signifikan sambil melakukan transformasi besar-besaran dalam model bisnis mereka. Jika tidak, Tupperware bisa saja menjadi salah satu merek legendaris yang harus tumbang karena gagal beradaptasi dengan perubahan zaman.
Dengan utang yang membengkak, penjualan yang terus menurun, dan persaingan yang semakin ketat, Tupperware berada di persimpangan jalan. Apakah perusahaan ini akan mampu bangkit kembali atau akan menjadi bagian dari sejarah bisnis yang gagal bertahan di era modern, waktu yang akan menjawab.
Tupperware, yang pernah menjadi simbol kesuksesan penjualan langsung, kini menghadapi krisis eksistensial yang serius. Kombinasi dari utang yang besar, model bisnis yang usang, serta persaingan yang semakin ketat telah menempatkan perusahaan ini dalam posisi yang sangat sulit. Meski masih ada harapan melalui restrukturisasi, nasib Tupperware tergantung pada kemampuan mereka untuk beradaptasi dan melakukan inovasi dalam menghadapi tantangan di industri peralatan rumah tangga.