Kasus Premanisme yang Ganggu Investor Dinilai Mulai Menurun

JAKARTA – Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi sekaligus Wakil Kepala BKPM, Todotua Pasaribu, mengungkap bahwa kasus premanisme yang selama ini mengganggu aktivitas investor di Indonesia mulai menunjukkan penurunan signifikan.
Meski tidak merinci data angka penurunan tersebut, Todotua menyatakan hal ini berdasarkan laporan rutin dari Kapolda di berbagai daerah. “Setiap minggu, Kapolda memberikan laporan bahwa kondisi sudah jauh membaik,” ujarnya di Jakarta, Kamis (19/6), dikutip dari validnews.id
Todotua menegaskan pemerintah terus berkomitmen memberantas praktik premanisme yang mengancam iklim investasi nasional. Masalah keamanan dan biaya perizinan ilegal kerap menjadi keluhan utama dari para investor, baik dalam maupun luar negeri.
“Kami sangat tegas dalam menjaga iklim investasi. Saat roadshow bertemu investor, isu ini selalu menjadi pembahasan utama,” kata Todotua.
Dia juga mengingatkan dampak negatif premanisme terhadap iklim investasi, yang bisa membuat investor enggan berbisnis di Indonesia. “Biaya-biaya ilegal seperti ini bisa mencapai 15-20 persen dari total biaya. Bagaimana investor mau menanam modal di negara kita?” tuturnya.
Salah satu kasus yang sempat mencuat adalah pemalakan terhadap proyek pembangunan pabrik Chandra Asri Alkali (CAA) di Cilegon senilai Rp5 triliun. Todotua mengatakan proses hukum kasus ini masih berjalan, dan koordinasi dengan Kapolda setempat terus dilakukan guna memastikan kondisi aman dan kondusif.
Proyek CAA sendiri merupakan bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 dan masuk dalam Proyek Strategi Nasional (PSN) berdasarkan Perpres Nomor 12 Tahun 2025. Proyek hilirisasi petrokimia ini diperkirakan mampu menghasilkan potensi ekspor hingga Rp35-40 triliun hingga tahun 2040.
Sementara itu, data Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM mencatat realisasi investasi di Provinsi Banten pada kuartal I/2025 mencapai Rp31,1 triliun. Tiga sektor terbesar penyumbang investasi adalah perumahan, kawasan industri dan perkantoran (Rp4,8 triliun), industri logam dasar dan barang logam (Rp4,1 triliun), serta industri kimia dan farmasi (Rp3,7 triliun).