Sila Artisan Tea: Misi Redha Taufik Mengangkat Citra Teh Nusantara ke Panggung Dunia
Jakarta — Realitas pahit yang diungkap seorang petani teh telah menjadi titik balik bagi Redha Taufik Ardias. Pada 2017, ia mengetahui bahwa setiap kilogram teh kering yang dijual petani ke pabrik besar hanya dihargai sekitar US$0,95 atau Rp12.500. Jika dihitung, nilai itu setara hanya Rp25 untuk bahan baku satu kantong teh berukuran 1,8–2 gram yang dipasarkan.
“Mencari teh paling murah ternyata berdampak langsung pada hidup mereka. Solusinya cuma satu: nilai teh harus ditingkatkan,” tutur Redha.
Kesadaran tersebut mendorong Redha mengambil langkah baru untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Saat itu, teh Indonesia masih dipandang sebagai minuman pelengkap, bahkan jarang ditemui sebagai brand unggulan di hotel berbintang—posisi yang justru diisi merek dari negara tanpa kebun teh.
Lahirnya Sila Artisan Tea
Pada 2018, Redha bersama Iriana Ekasari mendirikan Sila Artisan Tea, berkomitmen membangun citra teh Indonesia sebagai produk premium sekaligus menghargai peran para pemetik dan petani teh. Menariknya, sebelum terjun ke dunia teh, Redha bukan ahli agrikultur—ia lulusan Psikologi UI yang bekerja sebagai asisten konsultan bisnis dan branding untuk Iriana.
Awalnya, keduanya ingin membangun merek kopi. Namun riset mendalam membuat mereka mengalihkan fokus ke teh Indonesia—sebuah misi untuk meng-Indonesiakan teh Indonesia melalui inovasi, edukasi, dan branding.
Nama “Sila” terinspirasi dari nilai Pancasila sekaligus kata “silaturahmi” sebagai simbol keberlanjutan dan hubungan erat antara pelaku usaha dan petani. “Jadi Sila keenam itu Minum Teh Indonesia,” seloroh Redha.
Perjuangan dari Kebun ke Kebun
Redha dan Iriana mengunjungi berbagai daerah—Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, hingga Sumatera Barat—mencari petani kecil yang mau belajar dan memproduksi teh berkualitas. Mereka mengedukasi tentang standar pemetikan pucuk terbaik (P+2, yaitu tiga daun teratas) yang hanya bisa dilakukan secara manual untuk menghasilkan specialty tea.
Menembus Pasar Premium Global
Kini, Sila Artisan Tea bermitra dengan 25 kebun teh terbaik di Indonesia, masing-masing menghasilkan 3 hingga 12 jenis teh. Dari 200 varian teh yang sudah dikurasi, sekitar 75 telah diluncurkan ke pasar. Tiga produk yang paling banyak diminati adalah Jeda, Kasmaran, dan Senandung Senja.
Model pemasaran dilakukan secara B2B dan B2C melalui e-commerce, hotel, restoran, dan kafe di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Medan, Yogyakarta, Bali, Labuan Bajo, hingga Papua.
Pada 2023, Sila meresmikan Rumah Teh Indonesia di Bogor sebagai pusat inovasi dan edukasi. Lokasi ini semakin berkembang menjadi destinasi wisata minat khusus, bahkan sering dikunjungi pembeli dari berbagai negara, termasuk Austria, Rusia, Jepang, Korea, hingga Arab Saudi.
Sila juga berhasil memperluas pasar ke Singapura, Malaysia, Filipina, Austria, Rusia, Jepang, Amerika Serikat, hingga Turki.
“Teh Indonesia Lebih Baik dari Thai Tea”
Untuk mengangkat citra teh nusantara, Sila aktif mengikuti pameran internasional di Las Vegas, Prancis, hingga Thailand. Redha menegaskan teh Indonesia memiliki kualitas jauh lebih baik dibanding banyak teh negara lain.
“Seampas-ampasnya teh itu Thai Tea. Teh Indonesia jauh lebih tinggi kualitasnya. Edukasi ini penting,” tegasnya.
Indonesia disebut memiliki kekayaan rempah yang dapat dikombinasikan tanpa menghilangkan dominasi karakter teh—sehingga tetap disebut teh.
Dampak untuk Para Petani
Sila bukan hanya memperkuat brand, tetapi juga mengubah kehidupan petani. Salah satu di antaranya adalah Surati, petani teh asal Samigaluh, Yogyakarta. Setelah suaminya meninggal pada 2016, ia bertahan sebagai petani teh dengan segala keterbatasan. Pertemuan dengan Redha pada 2017 membawa perubahan besar.
Selama setahun, Surati belajar mengelola teh dari nol hingga akhirnya memproduksi teh hijau yang di-rebranding menjadi Menoreh Kencana. Jika sebelumnya ia hanya menjual 2–3 kg teh dengan harga Rp1.250 per kg, kini kebunnya menghasilkan 15 kg per panen, yang dibeli Sila seharga Rp200.000 per kg.
“Saya ingin bukan hanya saya yang merasakan ini, tapi semua petani bisa hidup dari teh. Itu sudah cukup bagi saya,” ujar Surati.
Perjalanan Sila Artisan Tea menegaskan bahwa tradisi, inovasi, dan penghargaan kepada petani dapat menjadikan teh Indonesia berdaya—bukan hanya sebagai cita rasa, tetapi juga sebagai sumber kesejahteraan dan kebanggaan nasional.