Mengenal Bisnis Al Ijarah dari Sisi Muamalah

USAHAMUSLIM.ID, MAKASSAR – Persewaan adalah salah satu kegiatan bisnis yang banyak kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Dalam Islam, kegiatan muamalah yang satu ini dikenal dengan istilah “Al-Ijarah”.
Al-Ijarah, adalah kegiatan usaha yang dilakukan dengan hanya menyediakan manfaat dari sebuah objek, baik berupa tenaga maupun barang. Bukan untuk memindahkan kepemilikan dari objek tersebut.
Kegiatan bisnis seperti ini, dapat dikatakan sebagai sebuah usaha yang sangat membantu, utamanya bagi orang yang punya sesuatu kebutuhan namun belum mampu membelinya, maka bisa diperoleh dengan cara menyewa. Atau sebuah barang yang pemakaiannya hanya untuk sementara waktu, ada baiknya dibayar dengan cara Al-Ijarah saja.
Secara umum transaksi ijarah, terjadi dalam dua bentuk, yaitu pertama upah-mengupah, adalah mengambil manfaat dari tenaga manusia dan yang kedua sewa-menyewa, yakni dengan mengambil manfaat dari suatu barang.
Maka dengan demikian, secara garis besar, Al-Ijarah dibagi menjadi dua yaitu ijarah atas jasa dan ijarah atas benda atau alat. Yang intinya adalah hanya mengambil manfaat dari sesuatu objek, bukan memindahkan kepemilikan dari objek tersebut.
Pembina Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia (KPMI) Makassar, Ustadz Budi Hariyanto, Lc. melalui kajian online bertema “Akad Ijarah” menjelaskan, bahwa penyewaan barang hanya boleh dilakukan terhadap barang-barang yang sifatnya halal dan bermanfaat.
“Syarat untuk melakukan kegiatan sewa-menyewa adalah objek yang dipersewakan adalah objek yang memiliki manfaat dan sifatnya halal. Bukan barang yang digunakan untuk bermaksiat.” Kata ustadz Budi Hariyanto.
Menurut ustadz Budi, praktek pelaksanaan akad ijarah dalam Islam ini dibolehkan, berdasarkan sejumlah dalil dari Al Qur’an maupun Al Hadist yang menjelaskannya, antara lain Surat At-Thalaq ayat 6 yang artinya, “Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anakmu) untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya.”
Ayat ini secara jelas menyebutkan bolehnya melakukan transaksi upah-mengupah terhadap jasa atau manfaat yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain.
Diperkuat pula dengan perintah Rasulullah agar membayarkan upah terhadap orang yang telah dipekerjakan. Sebagaimana hadist yang diriwayatkan dari Abdillah bin Umar, ia berkata; Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Berikan upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering” (H.R.Ibnu Majah)
Hadist ini, makin memperjelas bahwa Islam membolehkan untuk melakukan transaksi upah-mengupah atau Al Ijarah, dan masih banyak dalil dari Al Qur’an maupun Al Hadist yang menjelaskan mengenai hukum Al Ijarah ini.
Dari sejumlah dalil tersebut, para ulama fiqih dan ulama mazhab juga tidak ditemukan adanya perbedaan mendasar tentang definisi ijarah.
“Secara umum ulama mazhab sependapat, bahwa terdapat beberapa unsur-unsur dalam transaksi ijarah, di antaranya, harus ada akad persetujuan antara kedua belah pihak, dan salah satu dari keduanya tidak boleh membatalkan akad secara sepihak, harus ada kesepakatan mengenai imbalan atau besaran upah. Dan harus ada sisi manfaat dari objek yang dipersewakan.”imbuh ust. Budi.
Layaknya sebuah transaksi yang memiliki rukun dan syarat, maka bisnis Al Ijarah juga memiliki rukun dan syarat yang harus terpenuhi.
Jumhur ulama menyebutkan ada empat rukun dari Al Ijarah, yaitu : ada orang yang berakad, ada sighat ijab-kabul, ada objek yang dipersewakan, dan terdapat manfaat yang jelas dari objek yang dipersewakan.
1. Orang yang berakad.
Terdiri dari dua pihak, yakni Mu’jir adalah orang yang menggunakan jasa atau tenaga orang lain untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan, dan Musta’jir yaitu orang yang menyiapkan tenaga atau barang yang akan dimanfaatkan dalam mengerjakan suatu pekerjaan. Musta’jir inilah yan akan menerima upah dari Mu’jir ketika pekerjaan telah selesai.
2. Sighat atau Ijab-Kabul
Dalam melaksanakan sebuah akad, maka sighat ini merupakan sesuatu yang penting sekali, karena dari sighat inilah terbentuknya sebuah kesepakatan akan sebuah perjanjian kerja. Sighat berisi persetujuan antara dua belah pihak untuk melakukan ijarah. Di dalamnya ada ijab dan kabul. Ijab adalah pernyataan dari pihak pertama (mu’jir) untuk menyewakan barang atau jasanya, sedangkan kabul adalah jawaban persetujuan dari pihak kedua (musta’jir).
3. Objek dan manfaat
Objek yang dipersewakan harus memiliki manfaat yang jelas, seperti untuk membajak sawah, untuk menyelesaikan sebuah proyek, dan sebagainya. Maka sebelum melakukan sebuah akad ijarah, kedua belah pihak harus mengetahui dengan jelas manfaat apa yang terkandung dalam objek yang akan mereka persewakan. Untuk menghindari perselisihan di kemudian hari. Sifat barang yang menjadi objek ijarah juga harus jelas.
4. Imbalan atau upah
Rukun yang keempat adalah pembayaran atas penyewaan barang atau tenaga manusia yang telah diambil manfaatnya. Pembayaran inilah yang disebut sebagai upah atau imbalan terhadap tenaga yang telah dikeluarkan dalam menyelesaikan sebuah pekerjaan. Oleh karenanya, sewa atau imbalan ini harus jelas sesuai dengan besaran manfaat dari objek berdasarkan ketentuan yang telah disepakati.
Demikianlah penjelasan mengenai bisnis Al Ijarah beserta keempat rukunnya, ditinjau dari sisi muamalah. Yang paling penting untuk menjadi perhatian adalah objek yang dijadikan sebagai objek ijarah haruslah barang-barang yang sifatnya halal.
“Semua ulama sependapat bahwa sesuatu yang haram untuk dijual adalah haram juga untuk disewakan. Demikian pula manfaat yang diperoleh dari kegiatan sewa-menyewa barang itu harus memiliki manfaat yang bertujuan untuk kebaikan, bukan untuk tujuan kemaksiatan,” tegas Budi Hariyanto. (UM)