ArtikelInspirasi Bisnis
CV Arli yang Bercita-cita Menjadi Mall Sunnah Terbesar di Indonesia

Mendengar nama itu, kalian pasti baru dengar. Bagi warga Kota Singkawang, itu adalah mall sunnah. Di mana seluruh pegawainya berpakaian syar’i. Yang cewek bercadar, yang cowok celana cingkrang. Saya sudah pernah ke sini dan sempat memvideokannya. Targetnya, menjadi Mall Sunnah Terbesar di Indonesia. Simak narasinya sambil seruput Koptagul, wak!
Ada orang yang merasa risih melihat perempuan bercadar. Katanya menakutkan, ninja, ekstrem, bahkan dianggap simbol keterbelakangan. Ada pula yang geli melihat laki-laki bercelana cingkrang, seolah kain di atas mata kaki itu bisa mengguncang perekonomian nasional. Tapi anehnya, kalau idol Korea menutupi wajahnya dengan masker hitam, semua bilang modis. Kalau celana sobek di lutut, disebut gaya kekinian. Begitulah dunia, lebih takut pada kesalehan dibanding pada kebohongan.
Kota Singkawang didominasi warga Tionghoa. Walikotanya saja dari etnis keturunan China. Kota dengan julukan kota amoi dan kota paling toleransi di Indonesia berdiri sebuah mall yang antimainstream. Di sini, sebuah tempat di Jalan Alianyang No.74a, berdiri CV Arli, pusat perbelanjaan yang menampar cara berpikir kita tentang “modernitas.” Di sini, perempuan bercadar bukan simbol pengekangan, tapi kebanggaan. Laki-laki bercelana cingkrang bukan tanda keterbelakangan, melainkan ketaatan. Ketika azan berkumandang, suara kasir berhenti, transaksi berhenti, bahkan ambisi berhenti. Belanja ditangguhkan untuk salat berjamaah, dan pengumuman dilakukan dalam bahasa Arab, seolah mengingatkan, bahasa pasar boleh beragam, tapi bahasa Tuhan hanya satu, tunduk.
CV Arli tidak hanya menjual barang, tetapi menjual ide, bahwa ekonomi tidak harus netral terhadap nilai. Di sini, belanja menjadi bagian dari dakwah. Setiap rupiah yang keluar bukan hanya membeli produk, tapi juga mendukung sebuah gerakan spiritual, menghidupkan ekonomi yang berdiri di atas akidah. Pemiliknya, Edi Arli, tidak sedang membangun toko, tapi sedang merintis narasi baru, mall sebagai ruang dzikir, bukan sekadar ruang konsumsi.
Mall ini disebut-sebut sebagai “Mall Sunnah Terbesar di Indonesia.” Klaim itu memang ambisius, tapi bukan tanpa dasar. CV Arli menjalankan prinsip syariah bukan sekadar di permukaan, melainkan sampai ke akar perilaku. Karyawannya tidak hanya berseragam syar’i, tapi juga bekerja dengan niat ibadah. Tidak ada manipulasi harga, tidak ada promo tipu-tipu, dan tidak ada rayuan belanja impulsif. Justru di sinilah letak paradoksnya. Di tengah zaman ketika kejujuran dianggap naif, mereka menjadikannya strategi bisnis utama.
Banyak yang sinis. Katanya, ini cuma “marketing agama.” Tapi dunia sudah terlalu lama dijejali “marketing dosa” iklan rokok dengan pemandangan surga, influencer dengan aurat terbuka mengajak derma. Jika menjual kesalehan dianggap tipu-tipu, maka mungkin kita sedang hidup di masa ketika kebaikan harus minta izin untuk tampil.
CV Arli menjadi bukti, pasar bisa menjadi ruang tauhid. Kapitalisme modern menuhankan laba, sementara ekonomi syariah menundukkannya di bawah nilai. Di tempat lain, mall dirancang agar orang lupa waktu. Di sini, waktu justru diingatkan oleh azan. Di mall biasa, musik keras menenggelamkan hati, di sini, suara takbir menenangkan jiwa. Ketika semua tempat sibuk mengejar pelanggan, Arli justru sibuk menjaga ridha Tuhan.
Fenomena ini bukan sekadar romantisme religius. Ia menandai perubahan paradigma. Keberagamaan bisa bersinergi dengan kemajuan, bahwa iman tidak bertentangan dengan efisiensi. Justru dengan nilai, sistem ekonomi menjadi lebih manusiawi. Karena sejatinya, pasar tanpa etika hanyalah arena nafsu, tapi pasar dengan iman menjadi jalan menuju berkah.
Mungkin dunia masih akan menertawakan orang bercadar dan mencibir laki-laki bercelana cingkrang. Biarlah. Sebab di tengah riuhnya manusia yang sibuk membangun citra, masih ada yang sibuk membangun surga. Di suatu malam, ketika lampu CV ARLI mulai padam dan para pegawainya menunaikan salat isya, dunia seperti berbisik lirih, beginilah seharusnya ekonomi dijalankan, bukan dengan tipu daya, tetapi dengan doa. Sebab di tempat ini, laba hanyalah sampingan, yang utama adalah keberkahan.
Sumber: FB Rosadi Jamani
