Bukan Pesantren Biasa: Belajar Ngaji & Ternak Puyuh

Wirausaha di Pesantren – Di tengah maraknya stigma bahwa lulusan pesantren seringkali dianggap kurang mampu bersaing di dunia kerja, Pondok Pesantren Almustaqim di Desa Ketindan, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang, hadir dengan konsep berbeda. Bukan hanya mengajarkan ilmu agama, pesantren ini juga membekali santrinya dengan keterampilan wirausaha, khususnya melalui ternak puyuh petelur.
Awal Mula Pesantren Almustaqim Mengembangkan Ternak Puyuh
Muhammad Faiz, salah satu pengurus pesantren, menceritakan bahwa usaha ternak puyuh di Yayasan Almustaqim dimulai pada tahun 2019, menjelang masa pandemi COVID-19. Sebelumnya, yayasan pernah mencoba beternak ayam petelur dan ayam potong, tetapi hasilnya kurang sesuai dengan kondisi pesantren. Akhirnya, mereka memilih fokus pada ternak puyuh karena lebih efektif, hemat tempat, dan memiliki nilai ekonomi yang menjanjikan.
Awalnya, pesantren hanya memelihara 2.000 ekor puyuh. Seiring berjalannya waktu dan dukungan dari para donatur, jumlah tersebut meningkat hingga mencapai kapasitas 30.000 ekor. Hasil dari ternak puyuh ini bukan hanya untuk menopang biaya operasional pesantren, seperti listrik, air, dan makanan, tetapi juga menjadi sumber pendapatan bagi santri yang ikut mengelola usaha tersebut.
Santri Belajar Ngaji Sambil Digaji
Salah satu keunikan Pondok Pesantren Almustaqim adalah sistem pembelajaran yang memadukan pendidikan agama dengan keterampilan wirausaha. Santri yang berminat dapat ikut serta dalam pengelolaan ternak puyuh. Mereka diajarkan cara beternak, mengatur pakan, membersihkan kandang, hingga proses distribusi telur.
Menariknya, santri yang ikut dalam program ini mendapatkan imbalan berupa gaji. Ada yang menerima Rp500 ribu, Rp700 ribu, bahkan hingga Rp1,2 juta per bulan, tergantung kontribusi dan hasil kerja mereka. Sebagian uang tersebut ditabung untuk masa depan mereka setelah lulus dari pesantren.
Mengajarkan Kemandirian dan Tanggung Jawab
Program ini bukan semata-mata soal menghasilkan uang, tetapi juga melatih tanggung jawab dan kemandirian para santri. Dalam sehari, pekerjaan di kandang puyuh hanya memakan waktu sekitar satu jam, sehingga tidak mengganggu waktu belajar agama dan kegiatan mengaji.
Dengan sistem ini, para santri belajar membedakan mana yang menjadi ibadah dan mana yang termasuk pekerjaan dunia. Muhammad Faiz berharap, setelah lulus, para santri tidak hanya memiliki ilmu agama, tetapi juga memiliki keterampilan yang bisa menjadi bekal hidup mereka.
Tantangan dalam Mengelola Pesantren Mandiri
Meski banyak memberikan manfaat, program ini juga menghadapi tantangan. Beberapa wali santri terkadang tidak memahami konsep pendidikan di Almustaqim. Ada yang berpikir pesantren hanya untuk menampung anak yatim, padahal santri di sana juga berasal dari keluarga mampu maupun fisabilillah (yang menuntut ilmu demi agama).
Selain itu, sistem pendidikan gratis yang diterapkan membuat sebagian orang tua kurang bertanggung jawab terhadap anaknya. Ada yang menyerahkan anaknya begitu saja tanpa pengawasan atau perhatian lebih lanjut.
Hasil yang Menginspirasi
Namun, semua tantangan tersebut tidak menyurutkan semangat pengurus yayasan. Dengan hasil produksi telur sekitar 80–100 juta rupiah per bulan dari 30.000 ekor puyuh, pesantren ini mampu membiayai pendidikan, asrama, bahkan memberikan beasiswa kuliah bagi santrinya. Selain itu, hasil usaha ini juga memperluas jaringan silaturahmi dengan berbagai komunitas dan donatur yang ingin berkontribusi.
Pesantren Almustaqim membuktikan bahwa pesantren bukan hanya tempat belajar agama, tetapi juga wadah pembentukan karakter dan kemandirian ekonomi. Konsep ini bisa menjadi contoh bagi pesantren lain di Indonesia yang ingin mencetak generasi santri yang siap menghadapi tantangan zaman tanpa meninggalkan nilai-nilai Islam.
Pesan Moral dari Pesantren Almustaqim
Bagi Muhammad Faiz, inti dari perjuangan ini adalah bagaimana mengajarkan para santri untuk tidak bergantung pada sumbangan semata. Mereka diajarkan untuk mencari rezeki dengan cara yang halal, mengelolanya dengan bijak, dan memanfaatkannya untuk kebaikan umat.
“Makanlah dari hasil kerja, jangan makan dari agama,” begitu prinsip yang diajarkan di Pondok Pesantren Almustaqim. Pendidikan agama tetap menjadi prioritas utama, tetapi keterampilan dunia juga tak kalah penting untuk membekali santri dalam menjalani kehidupan setelah lulus.
Kata kunci utama: ternak puyuh pesantren
Kata kunci ini muncul secara alami sepanjang artikel untuk mengoptimalkan SEO, mengingat inti dari kisah ini adalah bagaimana pesantren mengajarkan santrinya wirausaha melalui ternak puyuh petelur.
Mau saya buatkan juga meta title, meta description, dan meta keywords SEO-friendly untuk artikel ini?
Atau sekalian versi storytelling blog pribadi (1.500–1.800 kata) yang lebih humanis dan menyentuh?