E-Commerce RI Masuki Era Baru: Dari Bakar Uang ke Efisiensi dan Profitabilitas

Jakarta — Industri e-commerce Indonesia kini memasuki fase baru. Setelah bertahun-tahun mengandalkan strategi “bakar uang” melalui subsidi besar-besaran seperti gratis ongkir, cashback, dan diskon, kini raksasa marketplace seperti Shopee, Tokopedia, dan TikTok Shop mulai berfokus pada efisiensi dan monetisasi.
Data Bank Indonesia (BI) mencatat, transaksi e-commerce sepanjang 2024 masih tumbuh 7,3%. Namun, pada Juli 2025, laju pertumbuhan merosot tajam menjadi hanya 2,32% secara tahunan (yoy) dengan nilai transaksi Rp44,4 triliun. Tren perlambatan ini menandai bahwa strategi ekspansi agresif sudah tidak lagi relevan, digantikan orientasi pada profitabilitas dan keberlanjutan bisnis.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Fadhila Maulida, menilai pergeseran strategi tersebut sebagai tanda kematangan industri.
“Pergeseran GMV menuju efisiensi dan keberlanjutan menunjukkan fokus yang bergeser dari pertumbuhan kuantitas ke kualitas. Orientasi jangka pendek ekspansi kini beralih ke stabilitas jangka panjang,” jelasnya dalam keterangan pers, Selasa (26/8/2025). Dikutip dari investor.id
Menurut Fadhila, masuknya industri ke fase maturitas dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari tekanan investor yang menuntut keuntungan lebih cepat, regulasi pemerintah yang makin ketat, hingga daya beli masyarakat yang melemah.
Namun, ia mengingatkan bahwa tantangan besar tetap menghadang. “E-commerce harus menjaga keseimbangan antara profit, kepuasan konsumen, regulasi, dan tuntutan investor. Kuncinya ada pada efisiensi operasional tanpa mengorbankan consumer surplus,” ujarnya.
Marketplace expert Kho Jonathan, atau yang dikenal sebagai Om Botak, menyebut fase ini sebagai bentuk pendewasaan industri.
“Dulu kita dimanjakan subsidi besar, tapi sekarang pelan-pelan ditarik. Marketplace masuk ke era buyer quality dan seller efficiency,” katanya.
Om Botak menilai pelaku usaha perlu segera beradaptasi dengan tiga strategi utama: meningkatkan efisiensi produk dan operasional, fokus pada value bukan sekadar harga, serta melakukan diversifikasi kanal penjualan.
Ia juga menyoroti kelemahan sebagian besar penjual yang masih belum siap menghadapi biaya iklan, perhitungan margin, dan kebutuhan konten pemasaran.
“Seller butuh pelatihan membaca data dan mengelola strategi iklan agar tidak rugi. Adaptasi cepat jadi kunci bertahan di fase baru e-commerce ini,” tegasnya.