Berita

Mereda Perang Dagang AS-China, Ekonomi Indonesia Diuntungkan tapi Tetap Waspada Tantangan

Jakarta – Meredanya ketegangan dalam perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China menjadi kabar baik sekaligus peringatan bagi perekonomian Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Bhima Yudhistira, Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), pada Selasa (13/5/2025).

“Meredanya perang dagang AS-China memberikan sentimen positif sekaligus tantangan bagi ekonomi Indonesia,” kata Bhima. Dikutip dari Liputan6.com.

Dari sisi positif, meredanya konflik antara dua raksasa ekonomi dunia ini mendorong pemulihan harga komoditas ekspor unggulan Indonesia. Peningkatan aktivitas industri di China diperkirakan akan meningkatkan permintaan bahan baku, sehingga menopang kinerja ekspor nasional.

“Permintaan industri di China meningkat, dan ini akan mendorong harga komoditas kita kembali menguat,” jelas Bhima.

Stabilitas nilai tukar rupiah juga mendapat angin segar. Menurut Bhima, pelemahan rupiah yang lebih terkendali mampu menahan laju inflasi impor, sekaligus menjaga ketahanan cadangan devisa karena intervensi Bank Indonesia bisa ditekan.

“Imported inflation jadi lebih ringan, dan cadangan devisa kita tak terlalu terkuras,” tambahnya.

Tantangan Serius: Daya Saing Ekspor Indonesia Tergerus

Meski demikian, Bhima menyoroti sisi gelap dari kondisi ini. Rendahnya tarif ekspor China ke pasar AS membuat produk-produk Indonesia seperti tekstil, alas kaki, dan pakaian jadi berpotensi kalah bersaing. Indonesia, kata Bhima, berisiko kembali terjebak sebagai pemasok bahan mentah dan barang setengah jadi.

“Tarif ekspor Indonesia ke AS masih lebih tinggi dibanding China. Ini membuat produk kita kalah bersaing, sementara China mendominasi pasar produk jadi,” ujarnya.

Ancaman PHK dan Relokasi Industri

Ketimpangan tarif ini juga memicu risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor-sektor padat karya. Jika tak segera diantisipasi, investor bisa kembali memilih China sebagai basis produksi, terutama untuk sektor manufaktur.

“Relokasi industri dari Indonesia ke China sangat mungkin terjadi jika tarif tidak kompetitif. Ini akan berdampak langsung pada lapangan kerja,” tegas Bhima.

Tanda-tanda tekanan terhadap iklim investasi Indonesia mulai tampak. Data ekonomi menunjukkan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) mengalami kontraksi 7,4 persen pada kuartal I 2025 secara kuartalan, mencerminkan penurunan tajam realisasi investasi domestik.

“Investasi dari AS dan Eropa kini cenderung mengalir ke China. Sementara Indonesia makin tertekan, terlihat dari kontraksi PMTB yang signifikan pada awal tahun ini,” pungkas Bhima.

Show More

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Back to top button