QRIS Makin Populer di Indonesia, Namun Pembayaran Tunai Tetap Harus Tersedia
Sistem pembayaran nontunai seperti QRIS terus tumbuh pesat di Indonesia. Tren ini membuat transaksi jadi cepat dan aman. Namun, layanan tunai tetap perlu disediakan.
Banyak konsumen memilih bayar tanpa uang fisik. Soalnya lebih praktis dan nyaman. Tetapi, sebagian orang masih setia pada uang cash.
Ekonom Senior LPPI, Ryan Kiryanto, menilai digitalisasi makin kuat. Merchant dari toko besar sampai warung kecil ikut beralih. Jadi, sistem nontunai kini makin umum.
Dulu, konsumen sering mengeluh soal kembalian. Permen sering jadi pengganti uang kecil. Sekarang, masalah itu jarang muncul. Soalnya, pembayaran digital makin mudah.
Ryan mengatakan, transaksi kini lebih aman dan cepat. Karena itu, banyak merchant memilih QRIS. Namun, edukasi harus terus dilakukan.
Ia mendorong regulator aktif memberi sosialisasi. Edukasi penting agar masyarakat paham sistem digital. Jadi, semua bisa ikut beradaptasi.
Ryan juga meminta publik tidak langsung menghakimi merchant. Sebab, sebagian ingin menghindari risiko uang hilang. Jadi, niatnya untuk keamanan.
Jika ada yang kesulitan, konsumen sebaiknya saling membantu. Atau, cari merchant yang menerima tunai. Semua bisa disesuaikan.
Di sisi lain, Ketua FKBI Tulus Abadi memberi catatan penting. Ia melihat QRIS kini dipakai luas. Bahkan, UMKM sudah banyak menggunakannya.
Namun, ia menolak QRIS jadi satu-satunya alat bayar. Menurutnya, menolak tunai tidak dibenarkan. Baik dari sisi aturan maupun sosial.
Ia mengingatkan soal UU Mata Uang. Rupiah tunai adalah alat bayar sah. Jadi, tidak boleh ditolak.
Secara sosial, uang tunai masih dominan. Banyak warga belum siap sepenuhnya digital. Karena itu, pilihan harus tetap ada.
Konsumen berhak memilih cara bayar. Bisa tunai atau nontunai. Apalagi, QRIS belum mendominasi semua daerah.
Pada 2024, transaksi QRIS mencapai 6,24 miliar. Nilainya tembus Rp 659,93 triliun. Angka ini tumbuh 194 persen.
Pengguna QRIS mencapai 52,55 juta orang. Merchant tercatat 33,37 juta. Namun, transaksi nontunai baru sekitar 20 persen.
Tulus menyebut tren tunai memang turun. Pada 2023 masih 80 persen. Angka ini turun dari 84 persen pada 2022.
Karena itu, ia mendorong peran kementerian terkait. Edukasi harus terus diberikan ke pelaku usaha. Jadi, opsi tunai tetap tersedia.
Ia menegaskan karakter konsumen Indonesia sangat beragam. Latar sosial dan digital berbeda. Maka, kebijakan tidak bisa disamaratakan.
Belakangan, video penolakan tunai di Roti O viral. Seorang lansia ditolak saat ingin bayar cash. Kejadian ini menuai protes.
Menanggapi hal itu, Bank Indonesia angkat bicara. BI menegaskan larangan menolak Rupiah. Aturan ini tertulis dalam UU Nomor 7 Tahun 2011.
Direktur Eksekutif BI, Ramdan Denny Prakoso, menegaskan hal tersebut. Penolakan hanya boleh jika ada keraguan keaslian uang.
BI memang mendorong nontunai. Alasannya karena cepat dan aman. Selain itu, biayanya juga lebih murah.
Namun, uang tunai tetap dibutuhkan. Indonesia punya tantangan geografis dan teknologi. Jadi, tunai masih sangat relevan.
Ramdan menegaskan, pembayaran bisa tunai atau nontunai. Semua tergantung kesepakatan pihak terkait. Kenyamanan jadi kunci.
Pada 2026, BI menargetkan 17 miliar transaksi QRIS. Pengguna diharapkan tembus 60 juta. Merchant ditargetkan 45 juta.
QRIS juga masuk sektor transportasi. Fitur QRIS Tap kini tersedia. Pengguna tak perlu lagi memindai kode.
Sejak rilis Oktober 2025, pertumbuhan sangat tinggi. Transaksi naik hingga 1.200 persen per bulan. Totalnya mencapai 508 ribu transaksi.
Dengan tren ini, QRIS akan terus berkembang. Namun, tunai tetap harus ada. Jadi, semua lapisan bisa terlayani.